Jumat, 23 Desember 2011

ASAL MULA, PERKEMBANGAN, DAN KONTEN SOSIOLOGI PENDIDIKAN

0 komentar



1.      ASAL MULA DAN PERKEMBANGAN
            John Dewey (1859-1952) termasuk tokoh pertama yang memandang begitu esensialnya hubungan antara lembaga pendidikan dan masyarakat. Menurut pengamatannya, terlihat nyata adanya perubahan struktur masyarakat dari bentuk semulanya yang masih bersahaja. Dalam arus perubahan yang begitu rupa tersebut, John Dewey melihat betapa kecil, dan bahkan tiada sama sekali “peranan penyiapan” anak didik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan supaya mereka (anak didik) bisa menyadari “masyarakat baru” yang sedang bertumbuh di sekitarnya.
            Dewey melukiskan kehidupan anak-anak kota yang tampak “acuh” dan “buta” terhadap produk-produk yang nota bene dimanfaatkannya sehari-hari, seperti pakaian, gas, dan sebagainya. Dengan demikian, mereka sesungguhnya tidak lagi akrab dan menghayati konteks kehidupan sosialnya yang sudah semakin kompleks tersebut. Hal yang demikian itu, menurut Dewey, seharusnya dijembatani oleh lembaga pendidikan.
            Dewey bermaksud untuk memperbaikinya, yaitu melalui sekolah percobaannya di Chicago. Melalui sekolah tersebut, Dewey berupaya mengembangkan pengalaman belajar di kelas dan di sekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial. Baik dengan lingkungan “rumah” anak-anak maupun dengan lingkungan masyarakat sekitar pada umumnya. Bagi Jhon Dewey, persekolahan sesungguhnya merupakan “rumah” kedua bagi anak-anak, dan secara esensial mustilah tercermin sebagai “rumah yang baik”, dimana secara riil menampakkan semangat, minat, dan cita-cita masyarakat bersangkutan. Dewey melihst persekolahan sebagai miniatur masyarakat, suatu masyarakat mikro yang :
a.         Merupakan cerminan masyarakat sekitarnya dan
b.        Merupakan “pengilham” perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
            Sehubungan dengan itu, sebagaimana halnya Dewey dengan pengembangan teori-teori pendidikan yang memandang penting dan berupaya “menghadirkan” rumah serta lingkungan sekitar di dalam proses pendidikan.
            Sebagaimana halnya Dewey dengan pengambangan teori-teori pendidikannya, hal serupa juga dilakukan Emile Durkhein (1858-1917), yaitu dikala ia memegang direktur Ilmu Pendidikan di Sorbon, Paris (yang kemudian menjadi direktur Ilmu Pendidkan dan Sosiologi pada tahun 1913). Pendidikan sebagai suatu “Social Thing.” Dia menyatakan bahwa:
             Masyarakat secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya, merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu masyarakat bisa bertahan hidup, hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas yang memadai dikalangan para warganya. Keseragaman yang esensial yang dituntut dalam kehidupan bersama tersebut, oleh upaya pendidikan di perkekal dan diperkuat penanamannya semenjak dini di kalangan anak-anak. Tetapi dibalik itu, suatu kerjasama apa pun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keaneka ragaman. Keaneka ragaman yang penting itu, oleh upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan pengadaan pendidikan yang beranekaragam. Baik jenjang maupun spesialisnya.

            Bertolak dari pandangannya tentang pendidikan sebagai ikhtia sosial (social thing), akhirnya menuntun Durkhelim pada suatu pendapat, bahwa pendidkan itu, bukanlah hanya satu bentuk, baik dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Seberapa banyaknya bentuk dimaksud, sebenrnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat itu sendiri.
            Bagi Durkheim, pendidikan meurapakan alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial (the individual self, and the social self, the I and the We. or the homoduplex) menjadi suatu paduan yang stabil. Disiplin, dan utuh secara bermakna. Dengan demikian, penyelaman dan pencernaan nilai-nilai dan displin, oleh Durkheim dianggap sebagai isyarat inisiasi anak-anak terhadap masyarakatnya. Sangat vital untuk memahami dan menganalisa masyarakat itu sendiri secara metodis dan ilmiah. Pada waktu ia menyampaikan kuliah pengukuhannya di Sorbonne (1920), secara tegas Durkheim menyatakan bahwa suatu keharusan, dunia pendidikan itu melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian seirama denganarus deras transformasi yang berlangsung dalam perkembangan masyarakat modern. Beliau berkesimpulan, bahwa tidak ada yang melebihi pentingnya pendeketan sosiologis bagi para guru.

            Selama 40 tahun perkembangan sosiologi pendidikan (pada mulanya dinamakan “educational sosiology” dan belakangan ini menjadi “Sociology of Education”) berjalan lamban, tetapi berlangsung kokoh dan pasti. Khususnya di Inggris, perkembangan nyata Sosiologis Pendidikan ditandai dan dimulai dengan diangkatnya Sir fred Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London (London University Institute Of Education) pada tahun1937. Clarke begitu yakin, bahwa pendidikan haruslah direncanakan, dan pada bukunya yang berjudul “Education and Social Change” 1940, secara tandas ia menyatakan : Titik pijak sosiologis supaya diterima tanpa reserve dan supaya secara nyata mengaplikasikannya dalam dunia pendidikan.
            Tak semua ahli pendidikan (di Inggris) menyokong apa yang dinyatakan Clarke tadi. Tetapi di belakang Clarke terdapat seorang tokoh berpengaruh, yaitu Karl Mannheim (1893-1947), seorang pengungsi dari keganasan” Nazi Jerman. Ia menjadi dosen sosiologi pada Fakultas Ekonomi London (London School of Economics).
            Mannheim benar-benar yakin, bahwa kita tidak dapat mendidik pada suatu kevakuman, dan untuk itu, kita perlu sekali mendiagnosis corak masyarakat di mana kita hidup. Melalui analisis semacam itu, penyakit-penyakitnya dapat diklasifikasika, dan dari situlah kita bisa merencanakan suatu program pendidikan kearah suatu  masyarakat baru yang lebih baik. Pada bukunya yang berjudul “Diagnosis of Our Time” terbitan pertamanya tahun 1943, Mainnheim berusaha menampilkan kemungkinan “jalan ketiga” yang berada di antara dua buah ekstrim, yaitu ekstrim laissez-faire disatu pihak dengan ekstrim totaliter dipihak lainnya. Jalan ketiga yang dimaksudkannya itu ialah jalan demokrasi. Sebab demokrasi hanya bisa berfungsi kalau ada cukup kuat disiplin pribadi kedemokratisan yang membuat manusia sepakat pada masalah-masalah nyata bagi kepentingan umum, walau demikian mungkin saja mereka tak sependapat terhadap hal-hal detailnya.
            Mannheim sangat yakin, bahwa suatu masyarakat demokratis yang menginvestasikan banyak energi dan waktu untuk mengurangi kebencian ras dan kelompok (sebanyak energi dan waktu yang digunakan masyarakat totaliter untuk memelihara kebencian ras dan kelompok).
            Menurut penglihatan Mannheim, dengan menggunakan pendeketan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, dengan “jalan ketiga”nya Mannheim merupakan suatu jalan pemikiran yang bisa menuntun arah perencanaan di dalam upaya memelihara pandangan hidup yang merdeka dan demokratis. Bagi Mannheim, perencanaan dilihat, diterima, dan diaplikasikan menurut apa adanya kenyataan yang menentukan keadaan masyarakat. Tetapi katanya, perencanaan itu haruslah menyeluruh (total), dan lagi bukanlah pelanggeng “ketotaliteran.”
            Mannheim sesungguhnya termasuk berjasa membantu dan membimbing berdasarkan basis sosiologis mengenai bagaimana merencanakan kehidupan rakyat/masyarakat dengan begitu, ikut membantu hasil analisis psikologi perseorangan maupun sosial. Pendidikan Sosial, menurut Mannheim dikembangkan dengan merencanakan penggunaan berbagai ragam kekuatan dan institusi sosial untuk menumbuhkan kepribadian yang demokratis. Sebagai suatu disiplin ilmu, kata Mannheim, sosiologi mengajar kita bagaimana memahaminya, dan bagaimana bisa kesana; kita diajar untuk tidak sekedar memanfaatkan pengaruh sosial tertentu saja, tetapi lebih memandang lingkungan sosial sebagai suatu perangkat pola-pola yang perlu dieksporasi dan kemudian memanfaatkan untuk kepentingan proses pendidikan.
            Kebutuhan utama masyarakat kita sekarang terletak pada adanya konsensus dan integrasi, maka tugas pokok usaha pendidikan haruslah untuk mencapai hal tersebut, dan karenanya, pendidikan itu mustilah pendidikan sosial. Menurut penglihatan Mannheim, pendidikan sebagai suatu bagian dari totalitas proses sadar yang dengan cepat mengganti tekni-teknik yang tak di sadari.
            Komitmen Mannheim terhadap pendekatan sosiologis, bukan berarti “buta” dengan aspek-aspek penting lainnya dari pendidikan. Pendidikan untuk integrasi sosial. Manusia sebagai hewan sosial dan hewan politik, ia sadar akan diri sendiri yang terjadi dalam “dunia vakum”, ia sadar akan dirinya di dalam dan melalui orang lain. Tidak ada suatu diri sendiri yang terisolasi, dan sebagaimana dikatakan oleh John Macmurray, selamanya “persons in relation”’ Dan konsep tersebut, jelas-jelas mencerminkan adanya pendekatan interdispliner.
            Pendidikan merupakan suatu proses dinamik yang senantiasa memperhatikan pengalaman-pengalaman sosial maupun personal, yang karenanya, menuntut adanya analisis, seleksi, refleksi, dan evaluasi. Oleh karena itu, refleksi filosofis, psikologis dan sosiologis menjadi telaahan fundamental (bersama sejarah dan analisis komparatif) yang secara bersama-sama memberikan sejumlah pengetahuan untuk lebih bisa dalam memahami totalitas “dunia pendidikan.”
            Selama tahun 1943-1945, Institut Sosiologi di London menyelenggarakan konfrensi-konfrensi mengenai sosiologi dan pendidikan. Pada konfrensi-konfrensi dimaksud, Mannheim dan Clarke sama-sama memberikan andil yang berarti. Pada tahun 1948, setahun setelah wafatnya Mannheim, Clarke menerbitkan bukunya yang berjudul “Freedom in the Educative Society.” Pada bukunya itu, menurut Clarke tujuan pokoknya untuk mencetak corak watak warga negara ke arah yang lebih baik. Untuk itu, masyarakat pendidikan perlu secara sadar mengarahkan aktivitas-aktivitasnya, dan mengorganisasikan departemen-departemennya dengan suatu pandangan guna mengembangkan corak watak warga negara dimaksud tadi.
            Clarke juga setuju dengan Profesor W. E. Hocking, bahwa dunia pendidikan, memang harus digiring untuk mencetak corak watak baru tertentu, namun bersamaan dengan itu, juga perlu menjadi “penyelamat” apa-apa yang berakar pada masyarakat itu sendiri. Dalam hubungan ini, Clarke bertahan dengan menyatakan bahwa budaya yang benar mustinya berkembang dari budaya masyarakat itu sendiri dan mengambil pelajaran dari masyarakat lain yang dipandang maju dan sehat.
            Pada tahun 1950 W. A. C. Stewart menulis sebuah artikel penting yang dimuat pada “Sociological review”. Artikelnya mengenai filsafat dan sosiologi pada pendidikan guru (judulnya: Philosophy and Sociology in the Training of Teachers). Artikel tersebut masih tetap banyak dijadikan dasar pertimbangan di dalam dan menetapkan kurikulum pendidikan guru. Secara jitu Prof. Stewart menyatakan: Salah satu masalah utama dalam pendidikan guru ialah bagaimana menghindari tumpang tindih dalam mata-mata ajarannya. Masalah lainnya, bagaimana menghindari keterpisahan mata-mata ajarannya, jadi supaya ada koherensi terhadap aspek-aspek yang dipelajarinya. Ia juga menekankan kepada para guru dan calon guru supaya harus menyadari pula kritikan-kritikan pada dunia pendidikan yang nota bene memerlukan andil penglihatan sosiologi. Selanjutnya, ia langsung pada kerangka dari tiga mata ajaran (mata kuliah) yang dulunya disarankan Mannheim untuk dikuliahkan pada lembaga pendidikan guru. Ketiga mata ajaran yang dimaksud beserta kerangkanya masing-masing sebagai berikut :
A.    Sosiologi Untu Guru
1.      Sifat manusia dan tata sosial
2.      Impak kelompok-kelompok sosial terhadap individu
3.      Struktur sosial
B.     Sosiologi Pendidikan
1.      Sekolah dan masyarakat
2.      Sosiologi pendidikan dalam aspek-aspek historisnya
3.      Sekolah dan tata sosialnya.
C.     Sosiologi Mengajar
1.      Interpretasi sosiologis terhadap kehidupan sekolah
2.      Hubungan guru-murid
3.      Masalah-masalah organisasi sekolah
            Stewart sendiri menyarankan adanya sajian pengantar dalam kuliah sosiologi pendidikan, yaitu guna menyajikan hal-hal pokok mengenai “apa sosiologi itu sendiri;” termasuk di dalamnya tentang struktur sosial, fungsi dan pengendalian sosial, serta perubahan sosial. Juga perlu memperkenalkan taksonomi-taksonomi ahli-ahli sosiologi, seperti mengenai klasifikasi dan definisi dari berbagai macam kelompok, sistem, dan istilah-istilah.
            Program berikutnya, Prof. Stewart mengusulkan untuk membicarakan beberapa hal, seperti:
1.      Institusi-institusi masyarakat
2.      2. Sosiologi dan kurikulum
3.      Pendidikan bagi kebudayaan
4.      Proses belajar mengajar di kelas menurut penglihatan sosiologis
5.      Kedisiplinan dan tata aturan
6.      Guru dalam masyarakat, dan akhirnya
7.      Sosiologi dan nilai-nilai
            Mengenai yang disebutkan terakhir, Prof. Stewart mensinyalir bahwa relativisme nilai-nilai menyebabkan ahli sosiologi yang konsisten berpendirian tidak ada jalan untuk memasuki wilayah permasalahan tersebut. Bagi Stewart, fungsi penting dari sosiologi, terutama dalam kaitannya dengan nilai-nilai dalam pendidikan, menurutnya tetap ada, yaitu terlebih lebih untuk menunjukkan situasi dimana tindakan tindakan tertentu diambil dalam kebijaksanaan dan penyesuaian pendidikan.
2.      EDUCATIONAL SOSIOLOGY DAN SOCIOLOGY
OF EDUCATION
            Asal mula dan perkembangan sosiologi pendidikan, baik Educational Sosiology maupun Sosiology of Education, keduanya sama-sama di gunakan untuk menunjuk kepada disiplin ilmu yang sekarang menjadi pembahasan. W. A. C. Stewart menulis artikelnya pada tahun 1950, ia malah menggunakan tiga istilah, yaitu Sociological Approacah to Education, Educational Sociology, dan Sociology of Education. Kemudian pada tahun 1962, ketika Stewart mempublikasikan buah pikiran/karya Mannheim mengenai pandangan pendidikannya diberi judul “An Introduction to the Sociology of Education.” Dalam uraian yang termuat di buku tersebut, ternyata secara silih berganti menggunakan istilah “Sociology of Education” dan “A Sociological Approach to Education,” serta tidak menggunakan istilah “Educational Sociology” sama sekali.
            Ada kecenderungan pada jurusan Pendidikan diberbagai perguruan tinggi menggunakan istilah “Educational Sociology.” Sedangkan belakangan ini, lebih suka menggunakan istilah “Sociology of Education.” Disarankan oleh Prof. W. Taylor untuk tetap menggunakan kedua istilah tersebut, tapi dengan pengertian yang sedikit berbeda di antara satu dengan yang lainnya. Menurut Taylor, “Educational Sociology,” tekanannya terletak pada pertanyaan-pertanyaan kependidikan dan sosial, sedangkan “Sociology of Education,” tekanannya pada permasalahan-permasalahan sosiologis. Pembedaannya mirip dengan apa yang dinyatakan oleh R. J. Stalcup di dalam bukunya “Sociology and Education,” ia juga menggunakan istilah “The Social Foundations of Education.” Definisi dari Stalcup mengenai ketiga istilah dimaksud sebagai berikut :
a.       Educational Sociology: Merupakan aplikasi prinsip-prinsip umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan/atau proses pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri
b.      Sociology of Education: Merupakan suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahannya pada lembaga pendidikan itu sendiri.
c.       Social Foundation of Education: Merupakan suatu bidang telaahan yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi pendidikan, dan pendidkan komparasi. Jelas, bidang ini lebih luas baik dari “Sociology of Education” maupun “Educational Sociology.”
            Dalam bukunya “Educatiomal Sociology,” G. E. Jensen membahas perbedaan antara kedua istilah tadi. Menurut Jensen, problematik yang ditelaah oleh “Educational Sociology” di angkat dari bidang pendidikan. Sedangkan problematikanya “Sociology of Education” diangkat dari bidang sosiologi. Jensen juga berpendapat, bahwa sosiologi merupakan suatu bidang telaahan praktis, memperhatikan segi-segi sosiologis maupun sosial psikologis yang relevan atau berkaitan secara logis dengan permasalahan-permasalahan praktis pendidikan.
            Dalam hubungan ini, “Sociology of Education,” perhatian utamanya pada upaya menemukan aspek-aspek sosiologis dari fenomena dan institusi pendidikan. Di sini, masalah-masalahnya dikaji dan dipandangnya sebagai masalah essensial sosiologi, dan bukan merupakan masalah praktis pendidikan. Sementara ahli-ahli pendidikan yang tertarik pada pendekatan sosiologis, misalnya diberikan latihan-latihan dasar mengenai disiplin ilmu sosiologi itu sendiri.
            Dalam dunia akademik belakangan ini, memang semakin banyak kita dihadapkan pada penelaahan yang inter-disipliner. Begitu muncul pertanyaan mengenai “hak paten” disiplin keilmuan, berarti kita kembali lagi ke tempat start (melakukan pengepingan-pengepingan baik terhadap ilmu maupun tugas penelitian).
            Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin yang menjadi perhatian, baik ahli sosiologi maupun ahli pendidikan, dan keduanya telah memberikan kontribusi berharga. Yang terpenting, pada keadaan dan tingkat mana pun, hendaknya semua upaya penelitian dilakukan secara terarah dan terkendali, dan dengan menggunakan metodologi yang ampuh.
Keseluruhan yang ditelaah sosiologi pendidikan, sesungguhnya adalah salah satu, di mana ahli sosiologi dan ahli pendidikan bisa bekerjasama secara ramah, dan itu sudah mereka lakukan. Tidak ada gunanya lagi memperbincangkan, apakah sosiologi pendidikan merupakan cabang sosiologi ataukah cabang ilmu pendidikan. Yang terlebih utama ialah menetapkan mana-mana pertanyaan atau permasalahan yang penting untuk dipertanyakan dan di jawab secara ilmiah, dan menentukan siapa-siapa (ahli sosiologi ataukah ahli pendidikan) yang berposisi terbaik untuk meneliti dan menjawabnya.
2.3  KONTEN PERKULIAHAN SOSIOLOGI
PENDIDIKAN
            Dalam mempertimbangkan tujuan, konten, dan teknik sajian pendidikan, mau tak mau kita perlu segera memperhatikan konteks di mana pendidikan itu berlangsung. Tak bisa di hindari pentingnya suatu telaahan komparasi kontekstual, baik ke dalam masyarakat itu sendiri, maupun di antara masyarakat kita dengan masyarakat yang lainnya. Dalam hubunganini, pendidikan komparasi memang merupakan suatu disiplin tersendiri. Tetapi juga jelas, bahwa untuk melakukan telaahan mendalam terhadap sosiologi pendidikan. Harus ada analisis lintas masyarakat sehingga bisa dilakukan analisis komparasi terhadap situasi pendidikan di dalam berbagai ragam konteks geografis dan etnologis.
            Para ahli pendidikan haruslah benar-benar menyadari bahayanya “pengambilan alihan budaya” sebagaimana ditunjukkan oleh James Lynch di dalam artikelnya yang berjudul “Comparative Education and Colleges of Education.” Jadi, metoda komperasi, implisit di dalam sosiologi pendidikan, sebagaimana halnya telaahan pendidikan komparasi yang secara implisit juga menghajatkan basis pengetahuan dan metodologi ilmu-ilmu sosial yang ada.
            Di dalam menelaah berbagai ragam hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, sosiologi pendidikan mau tak mau musti memperhatikan dan beranjak dari sejumlah konsep-konsep umum, misalnya konsep tentang masyarakat, kebudayaan, persekutuan hidup, lingkungan, sosialisasi, internalisasi, akomodasi, assimilasi, ketimpangan kebudayaan, sub-kultur, status, peranan, dan sebagainya.
            Apa yang disajikan di buku pengantar ini, jelas jauh dari cukup bila dibandingkan dengan masalah-masalah sosiologi pendidikan yang tumbuh meningkat dalam wilayah garapan sosiologi pendidikan itu sendiri, untuk itu, kepada para mahasiswa disarankan untuk membaca sejumlah literatur dan hasil penelitian yang relevan sesuai dengan lingkup telaahan sosiologi pendidikan.

Labels