Minggu, 26 Februari 2012

TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

0 komentar

PENDAHULUAN

      Berbagai ragam permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan, kesehatan dan sebagainya, seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam kondisi yang demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang dinamakan Masail Fiqhiyyah. Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal ini terjadi karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan beragam jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem pemecahan yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan hukum.

   Studi yang menyangkut berbagai masalah fiqhiyyah tersebut terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dahulu tidak ada kini bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.

     Begitu dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat Islam, menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah demikian akrab dengan masyarakat dibandingkan dengan studi lainnya seperti tafsir, hadits, ilmu kalam dan sebagainya. Fiqhlah yang paling banyak dikenal dan amat populer di masyarakat Indonesia.

    Kajian terhadap masalah ini sudah demikian lama dan telah melembaga di masyarakat Islam. Kajian terhadap pertumbuhan ilmu fiqh, ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah sudah amat berkembang. Hal yang demikian terjadi karena adanya perubahan sosial yang berpengaruh terhadap perubahan hukum. Seiring dengan itu, kajian pemikiran hukum Islam dari sudut theologi juga banyak dilakukan para ahli dengan berbagai pendekatan yang digunakan.

    Dalam menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin modern, telah muncul berbagai masalah di sekitar, transplantasi organ tubuh dan masih banyak yang lainnya, yang mana mau tidak mau akan mendorong para pakar hukum untuk mencarikan pemecahannya secara komprehensif dan utuh.

    Tentu saja jawaban-jawaban tersebut diatas pada akhirnya menghendaki adanya metode dan pendekatan yang digunakan. Dalam kaitan ini, telah pula muncul metodologi ijtihad yang imam Ja’far al-Shiddiq dari kalangan Syi’ah Imamiyyah, istihsan Abu Hanifah dan lain sebagainya.

     Dengan menggunakan berbagai pendekatan tersebut, maka para pakar hukum Islam, termasuk dari Indonesia telah melakukan upaya jawaban hukum terhadap berbagai masalah yang berkembang.

A.    Pengertian Transplantasi Organ Tubuh
      Pengertian transplantasi (pencangkokan) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.

      Dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya :
Pertama, Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau terjadi kelainan.

Kedua, Resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena satu dan lain hal, organ tubuhnya harus diganti.

Ketiga, Tim ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor kepada resipien.
Berkenaan dengan donor, transplantasi dapat  dikategorikan ke dalam tiga tipe, yaitu :
1.      Donor dalam keadaan hidup sehat. Dalam tipe ini perlu adanya seleksi yang cermat dan harus dilakukan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh), baik terhadap donor maupun terhadap resipien (penerima), demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan penolakan tubuh resipien dan sekaligus menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik, 1 dari 1000 donor meninggal, dan si donor juga merasa was-was dan merasa tidak aman, karena dia menyadari, misalnya bila dia donor ginjal, dia tak akan memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.
2.      Donor dalam keadaan koma. Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya.[1] Hanya, kriteria meninggal secara medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria itu ditandai dengan berhentinya denyut jantung dan pernafasan[2], atau ditandai dengan berhentinya fungsi otak.[3]
3.      Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini, organ tubuh yang akan dicangkokkan diambil ketika donor telah meninggal berdasarkan ketentuan medis dan yuridis, juga harus diperhatikan daya tahan organ yang akan diambil untuk transplantasi[4], apakah masih ada kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel jaringannya telah mati, sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.

     Berdasarkan uraian diatas, maka muncul suatu pertanyaan: “Bagaimanakah pandangan hukum Islam tentang transplantasi organ tubuh, baik donor dalam keadaan sehat, dalam keadaan koma, maupun dalam keadaan meninggal?”. Inilah yang menjadi pokok masalah dalam tulisan ini, yang mana dalam pembahasannya berpedoman pada hukum Islam (Quran dan Hadits) secara eksplisit, serta mengaitkan hal tersebut pada qaidah fiqhiyyah yang benar.

B.     Hukum Transplantasi Organ Tubuh
1.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
    Apabila transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup sehat, maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :
a.       Firman Allah dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”.
      Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini, yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya, disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk ikhtishash), maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu dari orang lain.

     Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya, menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.[5]

b.      Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”.[6]

    Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.

2.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
      Melakukan transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram, walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut dapat dikatakan ‘euthanasia’ atau mempercepat kematian. Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut, meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup. Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam keadaan koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan sebagai berikut :

a.       Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”. [7]

Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.

b.      Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.

3.      Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
      Mengambil organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat bahwa :

a.       Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.[8]

Juga berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”.[9]

b.      Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.

       Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin keluarga/ahli waris.[10]

     Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.[11]

Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh, antara lain:
a.       Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang telah kami sebut dalam pembahasan didepan, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat kembali.
b.      Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعاً
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya”.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.
c.       Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa”. Selain itu juga ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik. Artinya: “Dan berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

   Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam memuliakan manusia berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia walaupun sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah).[12]

   Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu diharamkan walau pada orang yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.[13] Hal ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :
ِإذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.[14]
d.      Hadits Nabi saw.
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”.
(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)

Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit, hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula : “Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).[15]

     Selanjutnya berkenaan dengan hukum antara donor dan resipien yang seagama atau tidak seagama, serta hukum organ tubuh yang diharamkan seperti babi, juga dapat menimbulkan masalah, tetapi hal tersebut dapat dikaji berdasar ayat-ayat Al-Quran surah al-Najm 38-41 :

1.      Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasannya dengan balasan yang paling sempurna”.
2.      Al-Quran surah al-Baqarah ayat 286 : “Ia mendapat pahala dari kebajikan yang diusahakannya itu dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya”.

     Berdasar ayat-ayat diatas, berkenaan dengan hubungan antara donor dengan resipien yang menyangkut pahala atau dosa maka dalam hal ini mereka masing-masing akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan mereka sendiri-sendiri. Mereka tidak akan dibebani dengan pahala atau dosa, kecuali yang dilakukan oleh masing-masing mereka. Yang perlu diingat, bahwa yang salah bukan organ tubuh, tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat syaraf. Oleh sebab itu, tidak perlu khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini sama dengan hukum tranfusi darah. Namun alangkah baiknya dan sangat diharapkan demi kemaslahatan, jika organ tubuh itu kita dapatkan dari seorang muslim juga, demi ketenangan kita dalam menjalankan kehidupan untuk ibadah, dengan dasar :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ اْلإِباَحَةُ حَتىَّ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلىَ التَّحْرِيْمِ

Selanjutnya, bertalian dengan transplantasi dengan organ tubuh hewan diharamkan yang dicangkokkan kepada manusia, seperti katup jantung babi atau ginjalnya, dalam hal ini haram hukumnya, dengan dasar qaidah fiqh :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ التَّحْرِيْمُ
“Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah haram”.


PENUTUP
Demikianlah pokok-pokok pikiran tentang pandangan hukum Islam terhadap transplantasi organ tubuh yang dapat penulis uraikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi al-shawab.


[1] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Masagung, 1991), hal. 84
[2] Rumusan PP No. 18/1981
[3] Rumusan Kongres IDI tahun 1985
[4] “Donor Tubuh”, Panji Masyarakat, No. 514, Tahun XXVIII, 1 September 1986, hal. 14-21
[5] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M), hal. 62
[6] Ibid, hal. 63
[7] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt), Cet. IV, Jilid II, hal. 203
[8] Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 61
[9] Ibid, hal. 60
[10] MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1995 M), hal. 176
[11] Ibid, hal. 176-177
[12] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Jilid I, hal. 93
[13] Abuddin Nata (ed), Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama UIN Press Jakarta 2003, hal. 103
[14] Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 63
[15] Al-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir, Jilid I, hal. 130
Continue reading →
Kamis, 23 Februari 2012

Ilmu Pengetahuan dan Implikasinya Terhadap Proses Pendidikan Islam

0 komentar

Aktivitas pendidikan islam pada dasarnya merupakan upaya dalam mewujudkan spirit islam, yaitu suatu upaya dalam merealisasikan semangat hidup yang dijiwai oleh nilai Islam. Selanjutnya spirit tersebut diadikan pedoman hidup manusia dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan.
Sayid Amer Ali dalam bukunya mengungkapkan bahwa semangat dan dinamika Islam ditopang oleh empat hal;
1 Jiwa keagamaan
2 Jiwa rasionalistis dan filosofis
3 jiwa politik islam[1]
Ketiga spirit tersebut akan penulis coba modifikasi kedalam satu bahasan, yaitu dengan menampilkan spirit Ilmu pengetahuan,karena segala esuatu harus didasari dengan ilmu. Untuk tu kajian kali ini  adala masalah ilmu pengetahuan.
PEMBAHASAN
Pengerian Ilmu pengetahuan .
Istilah ilmu pengetahuan timbul dari dua kata; ilmu dan pengetahuan.
Pengetahuan (ma'rifah/knowledge) dalam pandangan James K adalah hubungan antara objek dan subjek . dengan kata lain pengetahuan adalah paham suatu subjek mengenai objek yang dihadapi. Subjek disini adalah manusia sebagai kesatuan dari berbagai macam kesanggupan (akal panca indra, dsb) yang digunakan untuk mengetahui sesuatu. Sebaliknya objek disini adalah benda atau hal yang diselidiki[2].
Ilmu dalam pandangan para ahli mempunyai pengertian sebagai berikut:
1.      Ashley Montagu dalam bukunya The Cultured Man menyebutkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang di susun dalam satu system yang berasal dari pengamatan ,studi dan pengalaman untuk manentukan hakekat dan prinsip tentang sesuatu yang sedang di pelajari[3].
2.      Zakiah Darojah, dkk. Dalam bukunya " AGAMA ISLAM " merumuskan bahwa ilmu adalah seperangkat rumusan pengembangan pengetahuan yang dilaksanakan secara objektif dan sistematis yang dimanfaatkan untuk memperoleh kebahagiaan yang berasal dari tuhan dan disimpulkan olah manusia melalui hasil penemuan pemikira.
Dari beberapa penemuan di atas, ilmu pengetahuan mempunyai cirri-ciri khusus yaitu:
1.      Ilmu pengetaguan mempunyai karakteristik tersendiri, yaitu mempunyai sistematika, hasil yang di peroleh bersifat rasional dan objektif
2.      Ilmu dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, studi dan pemikiran. Baik melakui pendekatan deduktif maupun induktuf atau keduaduanya.
3.      Sumber dari segala ilmu adalah tuhan, karena Dia yang menciptakannya.
4.      Fungsi ilmu adalah untuk keselamatan, kebahagiaan, pengamanan manusia dari segala sesuatu yang menyulitkan.
Kududukan ilmu pengetahuan dalam pandangan islam
Kehadiran Nabi Adam AS di bumi berbekal seperangkat ilmu pengetahuan (Q.S.2: 31) . dengan ilmu tersebut Adam dam anak cucunya terangkat derajatnya. Oleh karna itu, ilmu pengetahuan dapat di buat sebagai staandar kualitas manusia. Di samping itu, ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan tinggi dalam peandangan islam. Di antaranya adalah:
1.      Ilmu pengetahuan adalah alat untuk mencari kebenaran.
2.      Ilmu pengetahuan sebagai prasarat amal soleh
3.      Ilmu pengtahuan adalahinstrumen untuk mengelola sumber-sumber alam guna mencapai ridho Allah.
4.      Ilmu pengtahuan sebagai alat pengambang daya pikir
Pendekatan memperoleh ilmu pengetahuan
Banyak pendekatan yang banyak dilakukan untuk memperoleh ilmu pengetahuan . Ilmu pengtahuan. Macan-macam pendekatan itu adalah
1.      Empirisme
Cara pencarian ilmu pengetahuan melalui panca indra, karna indra tersebut yang menjadi instrument untuk menghubungkan ke Alam.
2.      Rasionalisme
Suatu cara untuk memperoleh ilmu pengetahuan dengan mengandalkn pikiran.
3.      Aliran yang menggabungkan antara pendekatan Empirisme dan Rasionalisme. Aliran ini berkeyakinan bahwa cara untuk memperoleh ilmu oengetahuan itu melalui pengertian dan pengindraan.
4.      Intuisi
Pendekatan ini membagi alam atas dua kategori yaitu
a.       Alam pertama, yang dapat di obserfasi dan di eksperimentasioleh ilmu pengetahuan modern.
b.      Alam intuisi, yang berkaitan dengan jiwa yang tidak mungkin di tundukkan dengan pengalaman atau analogi.
5.      Wahyu
Cara ini bersifat metafisik yang bercirikan transcendental, supra indrawi serta supra rasio.
6.      Ilham, sejenis dengan wahyu. Hanya saja wahyu khusus untuk para Nabi dan Rasul, sedangkan ilham untuk orang muslim pada umumnya[4].
IMPLIKASI ILMU PENGETAHUAN DALAM PROSES PENDIDIKAN ISLAM
Ilmu penetahuan dan pendidikan islam tidak dapat di pisahkan, karna perkembangan masyarakat islam sangat di tentukan oleh kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan yang di cerna melalui proses pendidikan. Sains yang di kembangkan dalam pendidikan haruslah berorientasi pada nilai-nilai islami. Dengan potensi akal, manusia dapat mencari kebenaran walaupun akal bukan satu-satunya sumber kebenaran. Kebenaran sebenarnya dapat dicapai melalui pendekatan ilmiah dan filosofis.dan sebagai pemandu kebenaran tersebut di butuhkan wahyu, yang sebelumnya harus di percayai sebagai sumber kebeneran dari tuhan. Antara akal dan wahyu yang merupakan sumber ilmu pengetahuan satu sama lainny berhubungan erat dan tidak mungkin terjadi antithesis.
Akal dengan kekuatannya mampu menguak ilmu pengetaguan yang rasional, sedangkan wahyu melengkapinya dengan objek yang tidak hanya rasional tetapi juga supra rasional. Dengan demikian, sumber ilmu pengetahuan yang di kembangkan dalam pendidikan islam memiliki dua jalur, yaitu jalur wahyu ilahi dan jalur karya ilahi. Yang keduanya saling menjelaskan dan menafsirkan.
Pendidikan islam tidak menghendaki adanya dikotomi keilmuan. Terjadinya dikotomi dalam pendidikan islam akan mengakibatkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Kegagalan dalam merumuskan prinsip tauhid.
2.      Lembaga pendidikan islam akan melahirkan manusia yang berkepribadian ganda atau justru melahirkan dan memperkokoh system kehidupan umatyang sekuleristis dan matrealistis.
3.      Tata kehidupan umat yang demikian akan melahirkan peradapan barat yang di poles dengan nama islam.
Ilmu pengetahuan pada hakekatnya di kembangkan dalam rangka melaksanakan amanah tuhan dalam mengendalikan alam dan isinya, sehingga dengan bertambahnya ilmu pengetahuan seseorang, bertambah pulalah petunjuk tuhan. Oleh karna itu, ilmu pengetahuan dapat memberi nilai pragmatis apabila ilmu pengetahuan tersebut dapat menumbuhkan daya kreatifitas dan produktifitas dalam menjalani kehidupan sebagai hamba dan kolifah Allah
PENUTUP
Ilmu pengetahuan adalah suatu kebijaksanaan dan kebijaksanaanyang di timbulkan dari ilmu pengetahuan tersebut bersumber dan hanya milik Allah semata. Dengan demikian peningkatan sains atau ilmu pengetahuan harus di sertai dengan peningkatan kebijaksanaan (suatu konsepsi yang benar), meskipun ilmu pengetahuan itu telah memberikan formulasi yang diperlukan dala, kemajuan.



[1]Imam Munawwir Kebangkitan Islam dan Tantangan-Tantangan yang dihadapi dari Masa kemasa, Surabaya; Bina Ilmu 1984 hlm 29
[2]Ending saifuddin ansor, ilmu filsaft, dan agama, Surabaya: bina ilmu 1987 hal 43-44.
[3]Tim Depag RI, Islam Untuk Disiplin Ilmu dan Filsafat, Jakarta, PPTAI, 1988 hal 42
[4]Drs.Muhaimin MA, Pemikiran Pendidikan Islam, Bandung, TRIGENDA KARYA 1993, hal 78-88
Continue reading →

Labels