Senin, 27 Agustus 2012

PENGAKUAN ANAK LUAR NIKAH DAN AKIBAT HUKUMNYA DALAM PANDANGAN ISLAM

0 komentar

I. PENDAHULUAN
Islam menghendaki agar komunitas muslim bersih dari penyakit-penyakit masyarakat yang sangat merusak seperti zina. Oleh karena itu, Islam berusaha menghilangkan tempat-tempat tumbuhnya kerusakan dan menutup celah-celah yang menuju pada kerusakan. Selanjutnya, Islam mensyari’atkan berbagai al-hudud untuk mencegah semuanya.
Didalam Islam, hukum dan peraturan itu adalah dari Allah swt. Anak zina hanya menerima warisan yang tidak baik dari perbuatan dua manusia yang bersalah itu, dan berbagai macam masalah kehidupan.
Seperti yang terjadi pada kasus persengketaan mengenai hak waris dari anak luar nikah yang dimuat pada majalah mingguan Tempo tanggal 22 April 1989. Persengketaan ini menarik perhatian berbagai pihak, terutama pakar hukum. Menariknya kasus ini karena yang saling menggugat adalah para pengusaha besar dan pemegang saham NV The City Factory yang berpatungan dengan perusahaan Jepang dalam memproduksi kosmetik.
Dalam sengketa itu, wakil presiden direktur PT. Tancho Indonesia Co. Ltd., Wilson Suryadi Sutan menggugat kedua keponakannya Tora Sutanto dan Yulianti Sutanto yang telah mewarisi 20% saham bernilai milyaran rupiah dari mendiang ibu kandungnya, Nyonya Lindawati Ibrahim. Menurut Wilson, warisan Lindawati itu seharusnya jatuh kepadanya dan saudara-saudaranya, bukan kepada anak mendiang. Alasannya, Tora dan Yulianti hanyalah anak luar nikah yang tidak pernah diakui secara sah oleh Lindawati Ibrahim.
Semula NV The City Factory merupakan perusahaan keluarga, warisan dari Ibrahim Sutan, orang tua Wilson, Imelda, Lindawati dan Uman. Pada tahun 1969, perusahaan itu melakukan joint venture dengan Tancho Kabushiki Kaisha dari Jepang yang mendirikan PT. Tancho Indonesia dengan saham pihak Jepang 40% dan pihak NV The City Factory 60%. Setelah Ibrahim wafat pada tahun 1974, saham NV City Factory itu dibagi menjadi Wilson 40%, Imelda, Uman dan Lindawati, masing-masing 20%.
Pada bulan Oktober 1984, Nyonya Lindawati meninggal. Ia meninggalkan dua orang anak, Tora dan Yulianti. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada bulan Desember 1986 telah menetapkan kedua anak itu menjadi ahli waris yang sah dari mendiang Lindawati Ibrahim. Pewarisan saham yang 20% itu telah disetujui oleh pihak Wilson dan saudaranya. Tetapi kemudian Wilson berpendapat bahwa Tora dan Yulianti sama sekali tidak berhak mewarisi dari ibunya sendiri. Ia kemudian mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Alasannya, karena anak diluar nikah, menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak bisa mewarisi kecuali bila sudah diakui oleh kedua orangtuanya.
Kasus diatas hanya sebagai contoh dari pengakuan anak luar nikah dan akibat hukumnya. Dalam hal ini, penulis ingin berusaha mengetengahkan pembahasan-pembahasan tentang : (1) kedudukan anak luar nikah menurut hukum Islam, (2) pengakuan anak luar nikah dalam hukum Islam, (3) dan bagaimana akibat hukumnya, termasuk dalam masalah waris-mewarisi.
Pembahasan tentang masalah-masalah itu ternyata telah dikemukakan oleh para Fuqaha terdahulu baik hal itu secara langsung atau tidak langsung, yang termuat dalam beberapa kitab Fiqh perbandingan seperti Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd dan lainnya.
II.     MASALAH PERGAULAN BEBAS DILUAR NIKAH
Kelahiran luar nikah (illegal) merupakan salah satu problem masyarakat dunia, khususnya di negara Barat sebagai akibat pergaulan bebas dan kebejatan moral masyarakat, bertambahnya kelahiran illegal ini karena perbuatan zina yang tak terhitung lagi.
Dari akibat tersebarnya budaya pergaulan yang sangat bebas, tanpa adanya batasan dalam pergaulan dan juga persamaan antara laki-laki dengan wanita, sehingga diantara negara-negara Islam dan negara yang mayoritas penduduknya muslim sendiripun mengalami problem perzinaan dan kelahiran illegal (luar nikah).
Dalam hal ini, ada perbedaan yang tajam antara hukum Islam disatu pihak dan hukum perdata (KUH Perdata) atau KUH Pidana dilain pihak dalam menanggapi hubungan bebas diluar nikah.
Berikut ini penjelasan beberapa prinsip yang terkandung dalam hukum Islam dan hukum positif.
Dalam pasal 272 KUH Perdata dijelaskan : Bahwa setiap anak yang dilahirkan diluar nikah (antara gadis dan jejaka) dapat diakui, sekaligus dapat disahkan, kecuali anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina, atau dalam sumbang. Adapun yang dimaksud anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan antara laki-laki dan wanita yang dilarang kawin antara keduanya (anak melanggar darah). [1]
Apabila diperhatikan secara seksama pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan seks diluar nikah yang dilakukan oleh seorang gadis dengan jejaka tidak dianggap sebagai zina, karena itu anak yang lahir sebagai akibat hubungan mereka bisa diakui sebagai anak yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat diakui atau disahkan sebagai anak yang sah. Hal ini berarti, bahwa zina adalah hubungan seks yang dilakukan diluar nikah oleh mereka yang sudah bersuami atau beristri.
Konsekuensi yuridis dari pengertian zina, ditinjau dari segi hukum pidana adalah bahwa yang dapat dihukum hanyalah hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang sudah bersuami atau beristri, sedangkan mereka yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai hukuman pidana. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 284 sebagai berikut :
“Suatu pengakuan terhadap seorang anak luar kawin, selama hidup ibunya, pun jika ibu itu, termasuk golongan Indonesia atau golongan yang dipersamakan dengan itu tak akan dapat diterima, jika si ibu tidak menyetujuinya. Jika anak yang demikian itu diakui setelah ibunya meninggal dunia, maka pengakuan tidak mempunyai akibat lain, melainkan terhadap bapaknya. Dengan pengakuan terhadap seorang anak luar kawin yang ibunya termasuk golongan Indonesia atau golongan yang dipersamakan dengan itu berakhirlah hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan luar kawin itu, dengan tak mengurangi akibat-akibat pengakuan oleh si ibu dalam hal-hal bilamana kepadanya karena kemudian kawin dengan si bapak, diberikan untuk itu”. Dan juga pasal 285.

Jadi, berdasarkan pasal itu, hubungan seks antara laki-laki dan wanita yang belum menikah, baik karena suka sama suka, semen leven atau istilah sekarang “kumpul kebo”, secara yuridis formal tidak dapat dipidana menurut KUH Pidana yang mengatur masalah perkosaan.
Dengan rumusan zina seperti yang termaktub dalam KUH Perdata dan KUH Pidana itu, banyak berakibat negatif terhadap pergaulan antara remaja putera dan puteri, bahkan dalam tata pergaulan masyarakat pada umumnya.
Dengan makin longgarnya nilai-nilai pergaulan dalam masyarakat, kontrol sosial yang lemah, ketidakadilan hukum yang memberikan sanksi yuridis, bisa dimengerti kalau banyak terjadi kasus-kasus kriminal dibidang seks. Bahwa betapa banyaknya remaja yang melakukan penyimpangan ini, memang banyak faktor yang mengakibatkan terjadinya penyimpangan, akan tetapi paling tidak faktor undang-undang yang tidak mengikat mereka juga merupakan andil yang tidak kecil untuk terjadinya hal ini.
A.     Zina
Dalam hukum Islam, melakukan hubungan seks antara laki-laki dan wanita tanpa diikat oleh akad nikah yang sah disebut zina. Hubungan tersebut tanpa dibedakan, apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda.
Ada dua macam istilah yang biasa dipergunakan bagi pelaku zina, yaitu zina muhson dan zina ghoir muhson. Yang dimaksud zina muhson ialah zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah nikah, sedang ghoir muhson ialah zina yang dilakukan oleh orang yang belum menikah.
Islam tidak menganggap bahwa zina ghoir muhson yang dilakukan oleh gadis atau jejaka sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap menganggapnya sebagai zina yang harus dikenakan (had) zina. Hanya saja kuantitas dan frekuensi hukuman antara zina muhson dan zina ghoir muhson ada perbedaan. Bagi muhson, hukumannya dirajam sampai mati, sedangkan bagi ghoir muhson hukumannya dicambuk 100 kali seperti yang telah dijelaskan dalam QS. An-Nuur : 2.
Adapun syarat orang dikategorikan muhson adalah sebagai berikut[2] :
وَشُرُوْطُ اْلإِحْصَانِ أَرْبَعَةُ أًشْيَاءٍ : اْلبُلُوْغُ وَاْلعَقْلُ وَاْلحُرِّيَّةُ وَوُجُوْدُ اْلوَطْءِ فيِ نِكَاحٍ صَحِيْحٍ.

"Syarat-syarat ihson ada empat hal, yaitu : baligh, berakal, merdeka dan terdapatnya senggama dalam nikah yang sah".

Islam melarang zina dengan pernyataan yang keras, bahkan sanksi bagi mereka yang melakukannya, larangan yang cukup bijaksana mengenai zina dimulai dengan perintah tidak boleh mendekati zina.
Ditegaskan dalam firman Allah swt. :
وَلاَ تَقْرَبُوْا الزِّناَ إِنَّهُ كَانَ فاَحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً.

“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”. (Al-Isra : 32)

Manusia yang normal dan sadar kedudukannya sebagai manusia pasti akan berpendapat bahwa seks bebas (free sex) merupakan perbuatan terkutuk.
Bertrand Russel dalam bukunya The Principles of Social Reconstruction, sebagaimana dikutip oleh Dr. Fuad Muhammad Fakhruddin, menyatakan :
“A very rather small section of the public genuinely believes that sexual relations outside marriage are wicked; those who believe this are kept in ignorance of the conduct of friends who feel otherwise, and are able to go through life no knowing how others live of what others think”. [3]
(Sebagian masyarakat umum yang sungguh-sungguh berpendapat bahwa hubungan kelamin diluar nikah adalah tidak sopan. Mereka yang berpendapat demikian mengabaikan kelakuan pihak lain yang berlainan dan mereka sanggup melalui jalan hidup tanpa mengetahui pihak lain itu hidup dan berfikir).

Dalam masalah zina, Islam tidak memberikan hukuman tanpa adanya alat bukti yang sah dan meyakinkan, karena itu, sebaiknya masalah hukuman zina ditangani dan diselesaikan oleh pengadilan.
Menurut hukum di Indonesia, anak zina ialah yang lahir diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, (vide pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat dari KUA untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum Islam, sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya dan kepercayaannya selain Islam, maka pencatatan perkawinannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (vide pasal 2 (1) dan (2) PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 tentang perkawinan).
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut diatas, maka perkawinan penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak dicatat oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oleh pegawai pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi perkawinan tersebut tidak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya, maka perkawinan tersebut tidak sah menurut negara. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide pasal 43 (1) PP No. 9/1975).[4]
B.     Beberapa Akibat Negatif Dari Zina
Islam menganggap zina sebagai tindak pidana (jarimah) yang sudah ditentukan sanksi dan hukumnya (had zina), ketentuan ini sudah pasti mempunyai tujuan, yaitu agar manusia tidak terjerumus kepada perbuatan terkutuk, dimurkai Allah swt. dan bertentangan dengan akal yang sehat.
Sehubungan dengan hal ini, Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah memberikan alasan dijadikan zina sebagai salah satu tindak pidana.[5] Alasan-alasan itu antara lain :
1.      Zina dapat menghilangkan nasab (keturunan) dan secara otomatis menyia-nyiakan harta warisan ketika orangtuanya meninggal.
2.      Zina dapat menyebabkan penularan penyakit yang berbahaya kepada orang yang melakukannya, seperti penyakit kelamin siphilis.
3.      Zina merupakan salah satu sebab timbulnya pembunuhan, karena rasa cemburu merupakan rasa yang ada pada setiap manusia.
4.      Zina dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan eksistensinya, bahkan dapat memutuskan hubungan keluarga termasuk anak-anaknya.
5.      Zina hanya sekedar hubungan yang bersifat sementara, tidak ada masa depan dan kelanjutannya.
Adapun tujuan hukuman menurut Hukum Pidana Islam ialah sebagai berikut :
1.      Untuk Preventif, artinya untuk mencegah semua orang agar tidak melanggar larangan agama dan melalaikan kewajiban agama dengan adanya sanksi-sanksi hukumannya yang jelas;
2.      Untuk Represif, artinya untuk menindak dengan tegas siapa saja yang melanggar hukum tanpa diskriminasi demi menegakkan hukum (law enforcement).
3.      Untuk Kuratif dan Edukatif, artinya untuk menyembuhkan penyakit mental/psikis dan memperbaiki akhlak pelaku pelanggaran/kejahatan agar insaf dan tidak mengulangi perbuatannya yang jelek/jahat.
4.      Untuk melindungi masyarakat/negara dan memelihara ketertiban dalam masyarakat.
III. STATUS ANAK DILUAR NIKAH DALAM ISLAM
A.    Pengertian Anak Luar Nikah
Yang merupakan kriteria anak zina atau anak luar nikah dalam ajaran Islam dapat dikutip dari pendapat Hassanain Muhammad Makluf tentang anak hasil zina:
وَلَدُ الزِّناَ هُوَ اْلوَلَدُ الَّذِي أَتَتْ بِهِ أُمُّهُ مِنْ سِفَاحٍ، وَوَلَدُ اللِّعَانِ هُوَ اْلوَلَدُ الَّذِي حُكِمَ بِنَفْيِ نَسَبِهِ مِنْ أبيه بعد الملاعنة بين الزوجين بالصفة المبينة.

Anak zina ialah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah. Dan anak li’an ialah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya, setelah suami-istri saling me-li’an dengan sifat (tuduhan) yang jelas.

Apabila telah terjadi perkawinan antara suami-istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila :
a.       Istri melahirkan anak sebelum cukup masa kehamilan.
b.      Melahirkan anak setelah lewat batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.
Jumhur Fuqaha memberikan batas minimal masa kehamilan selama enam bulan.[6] Adapun dasar pemikiran mereka bertitik-tolak dari ayat-ayat al-Quran sebagai berikut :
“Mengandung dan menyapihnya itu selama tiga puluh bulan”.
(Al-Ahqaf : 15)

Kemudian dijelaskan dalam firman Allah swt. :
“Dan Kami perintahkan kepada manusia terhadap dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”. (Luqman : 14)

Dalam surat al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung dan menyapih, yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat Luqman ayat 14 dijelaskan batas maksimal menyapih adalah dua tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang paling sedikit adalah 30 bulan dikurang 24 bulan sama dengan 6 bulan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila istri melahirkan anaknya kurang dari enam bulan masa kehamilan, maka suami bisa mengajukan keberatan atas anak yang dilahirkan itu. Bahkan secara yuridis anak itu bukan lagi dianggap anak yang sah. Begitupula halnya jika wanita yang telah dicerai suaminya lalu ia melahirkan anak pada masa yang lebih dari sembilan bulan sampai satu tahun, maka anak itu bukan dari suaminya.
B.     Kedudukan Anak Diluar Nikah
Islam mengajarkan kepada umatnya bahwa anak yang dilahirkan secara sah sesuai dengan ketentuan ajaran Islam mempunyai kedudukan yang baik dan terhormat. Anak itu mempunyai hubungan dengan ayah dan ibunya, maka ia berhak mendapatkan pendidikan, bimbingan berikut nafkah atau biaya hidupnya dari orang tua sampai ia bisa hidup mandiri (dewasa).
Sebagai bukti lebih lanjut, keterikatan antara anak dan kedua orangtuanya, timbullah diantara keduanya hak dan kewajiban. Seorang anak wajib menghormati dan mentaati kedua orangtuanya selama ia tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Ia dilarang untuk menyakiti secara lisan apalagi secara fisik kepada keduanya.
Sehubungan dengan hal ini, Allah berfirman :
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (Luqman : 15)

Sebaliknya orang tua yang mendapat hak dan penghormatan dari anaknya itu berkewajiban untuk mendidik dan memberinya rizki (biaya) yang layak sesuai dengan perkembangan anak itu sendiri, seperti yang telah dijelaskan dalam surat Al-Baqarah ayat 233.
Ayat ini memberi kewajiban kepada seorang ibu untuk menyusui atau memberi makan kepada anaknya, sehingga tumbuh dengan baik dan sehat. Sedangkan bapak berkewajiban secara umum memberi nafkah kepada ibu yang menyusui anaknya sekaligus menafkahi anaknya.
Bahkan melalui ayat ini diambil kesimpulan bahwa anak yang sah dari segi nasab harus dihubungkan kepada bapaknya.
Imam As-Syafi’i berpendapat bahwa anak dapat dianggap sah dan dapat dihubungkan kepada ayahnya dengan semata-mata adanya akad nikah antara ayah dan ibunya.[7]
Berbeda halnya dengan Imam Ahmad ibn Hanbal yang menyatakan; bahwa penentuan nasab anak terhadap ayahnya harus dipastikan adanya hubungan kelamin antara ayah dan ibunya.
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa anak baru dihubungkan nasabnya kepada ayahnya apabila ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Sedangkan anak hasil zina (di luar nikah) hanya dihubungkan kepada ibunya saja.
Menurut Ibnu Rusyd:
وَاتَّفَقَ اْلجُمْهُوْرُ عَلَى أَنَّ أَوْلاَدَ الزِّنَا لاَيلُْحَقُوْنَ بِآبَائِهِمْ إِلاَّ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ وَشَذَّ قَوْمٍ فَقَالُوْا: يَلْتَحِقُّ وَلَدُ الزِّنَا فِى اْلإِسْلاَمِ, أَعْنَى الَّذِيْ كَانَ عَنْ زِنَا فِى اْلإِسْلاَمِ.
Jumhur (sahabat) berpendapat, bahwa anak-anak hasil zina tidak dihubungkan nasabnya kepada bapak-bapak mereka, kecuali pada masa jahiliyyah…Ada pendapat ganjil yang menyalahi ketentuan ini. Mereka berkata anak hasil zina dapat dihubungkan (kepada bapaknya) pada masa Islam, yaitu anak yang dilahirkan dari perzinaan pada masa Islam.[8]
Pandangan Ibnu Rusyd diatas sebagai realisasi dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar r.a sebagai berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَعَنَ بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَتِهِ فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَأَلْحَقَ الْوَلَدَ بِالْمَرْأَةِ.
Dari Ibnu Umar r.a, bahwa di masa Nabi SAW telah meli’an antara seorang laki-laki dengan istrinya. Ia (suami) mengingkari anaknya, maka ia (Nabi) menceraikan keduanya dan menghubungkan nasab kepada ibunya.
IV. AKIBAT HUKUM ANAK YANG TIDAK SAH
Apabila seorang anak dilahirkan secara tidak sah (di luar pernikahan) maka ia disebut sebagai anak luar nikah (anak zina). Sebagai akibatnya, ia tidak dinasabkan pada ayahnya, melainkan hanya pada ibunya. Ketentuan ini terdapat dalam Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam.
Namun demikian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada ketentuan, bahwa anak tersebut dapat dianggap sebagai anak yang sah setelah diakui sebagai anak sekaligus disahkan sebagai anak, maka akibatnya timbullah hak dan kewajiban timbal balik antara anak dengan orang tuanya.
Sedangkan dalam Hukum Islam tetap dianggap sebagai anak yang sah, karena itu berakibat hukum sebagai berikut:
a.       Tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah
Secara yuridis formal, ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis dan geneologis anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi, bukan secara hukum.
b.      Tidak ada saling mewarisi
Antara anak zina dengan laki-laki yang mencampuri ibunya tidak dapat saling mewarisi satu sama lain, karena nasab merupakan salah satu sebab mendapatkan warisan. Begitu pula keluarga bapak tidak dapat mewarisi dari anaknya itu, tetapi dapat pula ayah atau anak memberikan washiah wajibah atau menghibahkan harta mereka satu sama lain atas dasar kemanusiaan.
Menurut Ahli Hukum Islam, anak zina hanya dapat mewarisi dari pihak ibu dan kerabatnya. A. Hasan menegaskan sebagai berikut:
Begitu juga anak hasil zina, yakni anak zina dan anak yang tidak diakui itu, ahli warisnya hanya ibunya, saudara-saudara seibu dan anak dari pihak ibu.[9]
Lebih lanjut Hasanain Muh. Makluf sambil mengutip pendapat Az-Zailani sebagai berikut:
Anak zina dan anak li’an mewarisi dari pihak ibu, tidak dari yang lainnya, karena nasab dari pihak bapak terputus, maka ia tidak mewarisi darinya (bapak). Sedang nasab dari pihak ibu tetap, karena itu ia mewarisi dari ibunya dan saudara perempuan dari ibunya dengan ketentuan faraid, bukan dengan cara lain. Demikian pula ibu dan saudara perempuan dari ibunya, mewarisi (dari anak itu) hanya dengan cara faraid.
c.       Tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah
Mengenai wilayah yang dimaksud dalam akibat hukum ialah wilayah kasah yaitu perwalian atas orang dalam perkawinan. Jika anak di luar nikah itu kebetulan wanita, maka apabila ia akan melangsungkan pernikahan, maka ia tidak berhak untuk dinikahkan dengan laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah atau oleh wali lainnya berdasarkan nasab.
Merupakan wali dalam pernikahan ialah orang-orang yang tergolong asabah dalam waris, bukan kelompok dzawil arham.
Sayyid Sabiq menjelaskan:[10]
Jumhur ‘Ulama seperti Malik, As-Sauri, Al-Laits dan Asy-Syafi’i berpendapat, bahwa wali-wali dalam nikah itu ialah mereka yang tergolong ‘asabah (dalam waris) ..... tidaklah ada hak menjadi wali bagi Paman dari Ibu, saudara-saudara seibu, anak ibu (saudara seibu) dzawil arham lainnya.
Oleh karena ‘Asabah dalam waris juga berdasarkan nasab, maka seorang wanita yang dilahirkan di luar nikah dianggap tidak ada nasab dengan pihak laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah. Sebagai akibatnya ia tidak dinikahkan oleh laki-laki tersebut melainkan dinikahkan oleh hakim. Hal ini sama kedudukannya dengan orang yang tidak mempunyai wali sama sekali. Sebagaimana Sabda Nabi SAW:
“Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW, telah bersabda: setiap wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita itu mahar mitsly karena dianggap halal menyetubuhinya, sebab jika mereka berselisih maka sultan adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali”.[11]








V. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.       Dalam syari’at Islam, zina secara mutlak haram hukumnya. Adapun dasar filosofis diharamkannya zina diantaranya agar terjaga keturunan yang sah serta menutup kemungkinan salah satu dari pelaku zina untuk melepaskan tanggung jawabnya.
2.       Berbeda dengan syari’at Islam, maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, mempunyai konsep zina yang dikhususkan bagi orang-orang yang sedang dalam ikatan pernikahan. Sedangkan hubungan bebas di luar nikah yang dilakukan jejaka dan seorang gadis tidak digolongkan zina, apabila dilakukan atas dasar suka sama suka, bahkan bagi mereka yang bersuami atau beristri sekalipun, jika tidak diadukan oleh pihak tertentu, maka mereka lepas dari segala tuntutan. Akibatnya timbul peluang yang lebih besar bagi remaja untuk melakukan hubungan bebas di luar nikah.
3.       Sebagai akibat lebih lanjut dari hubungan seks di luar nikah adalah status anak yang dilahirkan. Dalam syari’at Islam anak hasil zina secara hukum tidak mempunyai hubungan apapun dengan pihak ayahnya, meskipun ayahnya itu mengakui atau mengesahkan secara formal. Anak tersebut hanya ada hubungan nasab dengan ibunya. Jadi, kasus Lindawati diatas, Tona dan Yulianti berhak menjadi ahli waris dari ibunya Lindawati.
4.       Hukum Islam tidak mengenal Lembaga Pengakuan (erkenning) apalagi pengesahan (wetteging), seperti yang terdapat dalam KUH Perdata. Karena jika lembaga tersebut diberlakukan akan mengakibatkan pergeseran nilai moral yang akan membawa kepada penyimpangan seksual (zina). Namun demikian anak yang dilahirkan tetap dalam keadaan suci, ia dapat melakukan sesuatu seperti anak lainnya, kecuali hubungan keturunan dengan ayahnya secara hukum.
Hal ini bukan berarti Islam tidak manusiawi, karena ayahnya bisa menggunakan lembaga wasiat dalam masalah kewarisan dan wali hakim dalam masalah pernikahan.

DAFTAR PUSTAKA
A. Hassan, al-Faraid, Fa. Pustaka Progressif, Cet. IX, Surabaya, 1979.

Al-Qur’anul Karim dan Terjemahnya, Mujama’ Khadim al-Haramain asy-Syarifain Al-Malik Fahd li-Thiba’at Mushaf asy-Syarif. Madinah Munawwarah. KSA.

Al-San’ani, Subul al-Salam, Juz III, al-Mashad al-Hussainipy, Kairo.

Asnawi, Moh. (ed), Himpunan Peraturan dan UU RI tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya, (Kudus: Menara Kudus, 1975)

Atla, Khadijah Ahmad Abu, Qubs min at-Tasyri’ fi Fiqhil Kitab, Thab’ah Kulliyah Dirasat Islamiyyah wal Arabia lil Banat, Jamia Azhar, Kairo.

Bakry, Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia.

Bahnisi, Ahmad Fathi, al-Siyasah al-Jinayah fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Cairo, Darul Ummah, 1965.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Cet. VIII, Perpustakaan Fakultas Hukum UII Yogyakarta, 1996.

Fakhruddin, Fuad Muhammad, Filsafat dan Hikmat Syari’at Islam, Jilid I, Bulan Bintang, Jakarta, 1966.

-------, Masalah Anak dalam Hukum Islam (Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan Anak Zina), Cet. I, CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1985 M/1405 H.

Hosen, Ibrahim, Fiqh Perbandingan, Jilid I, Yayasan Ihya ‘Ulumuddin, Jakarta, 1971.

Makluf, Hassanain Muhammad, Al-Muwarits fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Mathba’ al-Madani,1976.

Rusyd, Ibnu, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz II, Musthafa al-Babi al-Halabi, Mesir, 1960.

Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Dar-al-Fikr, Beirut, 1980.

Tadiyuddin, Imam, Kifayat al-Akhyar, Juz II, Isa al-Babi al-Halabi, tth.

Yanggo, Chuzaimah T., Hafidz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet. III, PT. Pustaka Firdaus, LSIK Jakarta, 1999.

Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqiyyah, Cet. II, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1991.







DAFTAR ISI


I.              PENDAHULUAN ......................................................................……......    1
II.           MASALAH PERGAULAN BEBAS DI LUAR NIKAH ...................….  3
A.     Zina ............................................................................................….....    5
B.     Beberapa Akibat Negatif Dari Zina …………………………………    8
III.        STATUS ANAK DI LUAR NIKAH ....................................................…   9
A.     Pengertian Anak Luar Nikah ..............................................................     9
B.     Kedudukan Anak Di Luar Nikah …………………………………....  11
IV.        AKIBAT HUKUM ANAK YANG TIDAK SAH .................................... 13
V.           KESIMPULAN ......................................................................................... 16





 


                [1] Chuzaemah T. Yanggo & Hafidz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pengakuan Anak Luar Nikah, PT. Pustaka Firdaus, LSIK, Cet. III, 1999, hal. 98
                [2] Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Juz II, Isa al-Babi al-Halabi, tt., tth., hal. 80

                [3] Fuad Moh. Fakhruddin, Filsafat dan Hikmat Syari’at Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1966, hal. 176
[4] Moh. Asnawi (ed), Himpunan Peraturan dan Undang-undang RI tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya, (Kudus: Menara Kudus, 1975), hal. 17
                [5] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid II, Dar al-Fikr, Beirut, 1980, hal. 346
[6] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut, 1980, hal. 450
[7] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, Jilid I, Yayasan Ihya Ulumuddin, Jakarta, 1971, hal. 67-69.
[8] Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid Juz II, Musthafa Al-Bishri al-Halabi, Mesir, 1960, hal. 358
[9] A. Hassan, Al-Faraid, Fa. Pustaka Progressif, Cet. IX, Surabaya, 1979, hal. 133
[10] Sayyid Sabiq, Op.Cit., Juz II, hal. 17
[11] Al-San’ani, Subul al-Salam, Juz III, al-Mashad al-Husainipy, Cairo, hal. 115-116
Continue reading →

Labels