Rabu, 14 Januari 2015

Kisah dan Ajaran Budha pada Candi Borobudur

0 komentar
           
              Cani Borobudur, merupakan candi terbesar di dunia bagi umat Budha. Secara geografis candi ini terletak di kabupaten Magelang, atau lebih tepatnya dibangun pada sebuah bukit kecil yang bernama gunung Tidar. Candi yang menyimpan keindahan dari sisi historis, arsitektur dan kemisteriusannya, ternyata banyak menarik perhatian para wisatawan baik dalam maupun luar negri berkunjung untuk menikmati seni budaya Borobudur. Tak heran bila UNESCO mengakui Borobudur sebagai monumen dan kompleks stupa termegah yang ramai dengan peziarah dari berbagai negara sejak pertengahan abad ke-9.
            Sebuah mahakarya arsitektur yang luar biasa ini telah berdiri jauh sebelum Angkor Wat berdiri di Kamboja dan bangunan katedral yang agung ada di Eropa, candi ini dibangun pada masa Raja Samaratungga yang menganut ajaran Budha, raja penguasa kerajaan Majapahid pada masa itu yang mana masih dalam garis keturunan Wangsa Syailendra. Bangunan ini merupakan sebuah bukti kemajuan peradaban pada masa itu, dengan kata lain masyarakat pada masa raja Samaratungga merupakan masyarakat yang maju, dimana budaya, ilmu sosial dan sepiritual telah maju.
            Secara keseluruhan candi Borobudur memiliki 6 tingkat bawah berbentuk bujur sangkar, 3 tingkat atasnya berbentuk lingkaran, dan bangunan berbentuk stupa yang menghadap ke barat sebagai puncak tertingginya. Tiap tingkatannya sendiri melambangkan suatu tahapan atas kehidupan manusia. Maka semua orang yang ingin mencapai suatu tingkatan tertentu haruslah melewati tingkatan kehidupan, hal ini sesuai dengan Mahzab Mahayana. Tidak hanya kemegah dan besarnya bangun, akan tetapi pada dinding Candi Borobudur dipenuhi pahatan 2672 panel relief yang jika disusun berjajar akan mencapai panjang 6 km. Dari keseluruhan relief pada candi Borobudur mencerminkan ajaran dari sang Budha. Sehingga candi borobudur dijadikan media pembelajaran bagi semua kalangan yang ingin mempelajari lebih dalam tentang ajaran budha. Hal ini dipuji sebagai ansambel relief Buddha terbesar dan terlengkap di dunia, tak tertandingi dalam nilai seni. Maka tidaklah heran, jika banyak umat Buddha berduyun- duyun datang dari India, Kamboja, Tibet, dan China untuk belajar ajaran Budha dan ingin mendapatkan pencerahan.
A.    Geografis Candi Borodur
            Secara geografi lokasi candi Borobudur terletak di pusat jantung pulau jawa, yaitu diantara bukit Menoreh yang membujur dari arah timur ke barat, dan diapit oleh gunung- gunung berapi yaitu gunung Merapi dan Merbabu di sebelah timur, gunung sumbing dan Sinduro pada sebelah baratnya. Letak Borobudur pada dataran tinggi menyuguhkan pemandangan yang begitu apik nan indah yang membentang sejauh mata memandang, dan melahirkan suasana alam yang tenang, aman, dan tentram.
            Kawasan Borobudur termasuk dalam wilayah pemerintahan kabupaten Magelang, karisedenan Kedu, profinsi Jawa Tengah. Jarak tempuh lokasi Borobudur dari kota Yogyakarta berjarak 41 km ke arah utara, 100 km barat daya dari kota Semarang, dan 86 km sebelah barat dari kota Surakarta ( R. Soetarno, 1988: 76). Posisi Borobudur berdiri di atas ada dataran tinggi yang  terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur, di sebelah utaranya terdapat bukit kecil yang lebih dikenal dengan sebutan Gunung Tidar. Menurut legenda Jawa, wilayah Borobudur diyakini sebagai “paku pulau Jawa” kini daerah tersebut lebih kita kenal sebagai “dataran Kedu” , tempat ini dianggap suci dalam kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai “Taman pulau Jawa” karena keindahan alam dan kesuburan tanahnya (Soekmono, 1989: 11).
            Jika dari komplek Borobudur kita menyebrangi sungai Progo dan Elo kita akan berjumpa dengan candi Pawon dan Mendut yang sejajar pada satu garis lurus, yang mana merupakan kesatuan perlambangan tiga serangkai candi Budha. Dari ketiganya, candi Mendut merupakan candi tertua dengan patung Budha setinggi tiga meter terpahat di dalamnya sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Guru. Jarak candi Pawon sekitar dua kilometer dari Mendut dengan menyebrangi sungai Progo dan Elo, candi mungil ini digunakan sebagai peristirahatan untuk mensucikan diri sebelum menginjak Borobudur (Yazir Marzuki, 1991: 1).
           
B.     Sejarah Candi Borobur
a.      Pembangunan Candi Borobudur
            Kapan candi Borobudur dibangun? Hingga saat ini belum diketahui dengan pasti kapan candi ini dibangun, sehingga umur candi Borobudur hingga sekarang belum bisa ditentukan secara pasti. Tetapi beberapa bukti dikemukakan oleh para ahli untuk menentukan usia candi ini hingga kita dapat mengetahui kapan candi ini dibangun. Sebuah prasasti diteliti oleh Prof. Dr. J.G Casparis, mengungkapakan bahwa isi dari prasasti tersebut menerangkan silsilah tiga Wangsa Syailendra yang berturut- turut memegang kekuasaan yaitu raja Indra, putranya Samaratungga, kemudian pemegang tahta selanjutnya oleh putri Samaratungga yaitu Pramodawardhani. Pada masa raja Samaratungga inilah dibangun sebuah candi yang bernama “Bhumisam- Bharabudhara” yang ditafsirkan sebagai “Bukit Peningkatan Kebajikan” setelah melampui sepuluh tingkat Bodhisattva (Yazir Marzuki, 1991: 6).
            Bukti lain yang menentukan umur candi tersebut adalah penelitian yang dilakukan pada bagian kaki yang tertutup candi Borobudur, hasil penelitian tersebut menemukan tulisan- tulisan singkat pada bagian kaki candi dengan berbahasa Sansekerta dan menggunakan huruf Kawi. Dengan membandingkan bentuk huruf pada Borobudur dengan prasasti- prasasti yang terdapat di Indonesia, para sarjana berpendapat bahwa candi ini dibangun sekitar tahun 800 M, yaitu masa raja Wangsa Syailendra yang menganut ajaran Budha Mahayana ( R. Soetarno, 1988: 82).
            Sir Thomas Stamford Raffles mengungkap sebuah dokumen tua yang menunjukkan keberadaan candi ini adalah kitab Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Di dalam kitab tersebut ditulis bahwa candi ini digunakan sebagai tempat meditasi penganut Buddha, dibangun pada masa raja Samaratungga oleh seorang arsitek bernama Gunadharma (Bedjo, 2006: 6). Berbeda dengan yang dilakukan oleh Bosch, ia lebih condong pada penelitian bentuk bangunan candinya dengan mengkaji sebuah kitab sastra kuno India yaitu Silpa-sastra, didalam kitab tersebut dicantumkan akan pembuatan arca dan bangunan candi di Jawa. Sehingga Bosch mengambil sempel candi dan mencocokan dengan masa kitab tersebut (Parmono Atmadi, 1979: 15).

b.      Penemuan Kembali dan Upaya Penyelamatan Candi Borobudur
            Kurang lebih satu setengah abad lamanya candi ini berfungsi sebagai pusat ziarah bagi penganut ajaran budha di Jawa, akan tetapi dengan runtuhnya kerajaan- kerajaan di Jawa Tengah dibarengi perpindahan kekuasaan politik dan kebudayaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, maka sejak itulah bangunan- bangunan suci Jawa Tengah termasuk Borobudur diserahkan kepada nasibnya sendiri.
            Memang pada umumnya bangunan suci candi di Indonesia dianggap tidak berfungsi lagi ketika masyarakat Indonesia mengenal Agama Islam dan mulai memeluknya, kemungkinan besar bangunan candi ini lebih awal ditinggalkan pada abad ke-10, yang kemudian terbengkalai tak terurus di alam terbuka dan pada akhirnya dilupakan akan keberadaannya. Karena sudah lama tak digunakan, Borobudur tenggelam dalam semak belukar dan sebagian tertimbun oleh tanah, ditambah lagi dengan iklim Indonesia dan adanya gempa bumi oleh letusan gunung berapi, sedikit demi sedikit meruntuhkan bangunan suci ini (Dr. Soekmono, 1986: 16).
            Baru pada kisaran abad ke-18, menurut cerita Babad Tanah Jawi, Borobudhur ditemukan kembali oleh pasukan mataram yang sedang menangkap Mas Dana. Menurut babad tanah Jawa, Mas Dana adalah seorang pemberontak yang melawan Paku Buwono 1 (raja kerajaan Mataram) pada tahun 1709- 1710, yang kemudian ia ditangkap di desa Borobudur, sebagai tawanan ia di bawa mengahadap raja untuk menjalani hukuman mati. Babad Mataram memilik cerita fersi lain, dalam buku tersebut menceritakan seorang pangeran kerajaan Yogyakarta mengunjungi “satria dalam kurungan”, yaitu arca Budha yang terdapat dalam setupa candi Borobudhur pada tahun 1757. Suatu petunjuk bahwa bangunan candi tersebut ternyata tidak lenyap dan hancur seluruhnya (Yazir Marzuki, 1991: 75).
            Pada tahun 1884, Borobudur kemabli mendapat sorotan mata banyak orang, yaitu pada saat Sir Thomas Satmaford Raffles sebagai gubenur jendral yang memerintah jajahan Inggris di Jawa (1811- 1815) berkunjung ke Semarang dan mendapat berita bahwa di desa Borobudur ada sebuah bangunan purbakala yang masih terpendam di dalam tanah. Sang gubenur jendral segera mengirim perwiranya yang bernama H. C. Cornelius untuk melihatnya. Begitu Cornelius melihat adanya candi di atas bukit, dengan bantuan penduduk sekitar ia segera melakukan pembersihan dan penggalian. Pekerjaan ini membutuhkan waktu yang begitu lama, hingga baru pada tahun 1835 atas usaha residen Kedu yang dipimpin oleh Hartman, bentuk candi Borobudur terlihat seutuhnya.
            Menyikapi hal tersebut, maka pada tahun 1845 didatangkanlah seorang fotografi bernama A. Shaefer untuk mengabadikan relief candi Borobudur. Hasil gambar Shaefer ternyata memikat daya tarik pemerintah, sehingga pada tahun 1949 dikirimlah Wilsen, seorang perwira Zeni Angkatan Darat untuk melakukan pelukisan dan mempelajari berbagai masalah yang terkait dengan Borobudur, dengan dibantu oleh Schonberg Mulder tugas ini terselesaikan di tahun 1853. Kemudian berlanjut dengan penelitian Brumund yang selesai pada tahun 1856. Hasil dari keduanya disatukan oleh Leemans di tahun 1859, timbulnya sebuah pendapat akan keraguan karya Wilsen membuat Leemans memakan waktu yang lama, dan baru pada tahun 1873 monografi Leemans terselesai (Dr. Soekmono, 1986: 23).
                Di tahun yang sama, seorang ahli fotografi I. Van Kinsbergen membuat foto- foto Borobudur. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, ia melakukan beberapa kegiatan, sehingga dua ratus relief yang tertimbun pada Borobudur terungkap. Hal yang lebih menghebohkan lagi yaitu ditemukannya kaki candi yang tersembunyi dan sejumlah relief didalamnya oleh J. W. Ijzerman pada tahun 1885, sehingga pada tahun 1890 bagian tersembunyi tersebut di buka semuanya untuk diambil foto oleh Cephas sebagai dokumentasi (Yazir Marzuki, 1991: 76).
            Semenjak saat itulah, penelitian- penelitian dan studi mengenai Borobudur terus dilakukan. Sehingga Borobudur yang dulu tenggelam dalam kesunyian berubah menjadi pusat studi dan ziarah banyak orang. Sehingga dilakukan pemugaran pada tahun 1900 yang diketuai oleh Dr. J. L. A.Brandes, dan di tahun 1965 dipimpin oleh Dr. Soekmono dengan dibantu oleh Prof. Dr. C. Voute sebagai usaha menjaga Borobudur dari musibah kehancuran.
           
c.       Nama “Borobudur”
            Sebagian besar candi di Indonesia tidak diketahui nama aslinnya, sehingga pemberian nama candi biasanya disamakan dengan daerah ditemukannya candi tersebut, mungkin hanya beberapa saja yang memang menyandang nama aslinya, maka sebaliknya dalam kasus ini nama desa atau tempat ditemuakannya candi tersebut diberi nama sesuai dengan nama candinya.
            Mengenai nama “Borobudur”, menurut Prof. Casparis nama Borobudur terambil dari sebuah prasasti yang berangka tahun 842 M, prasasti tersebut menerangkan berdirinya sebuah candi bernama “Bhumisam- Bharabudhara”, kemungkinan karena penyesuaian pada bahasa Jawa akhirnya berubah menjadi Borobudur (Yazir Marzuki, 1991: 7). Fersi pendapat Dr. Soekmono, bahwa nama Borobudur merupakan nama asli dari candi tersebut, hal ini diperkuat dengan disebutkannya “Bukit Borobudur” dalam kitab Babad Tanah Jawi. Keterangan serupa yang disampaikan kepada Raffles di tahun 1814 yang menyatakan adanya penemuan sebuah peninggalan purbakala bernama “Borobudur” di desa Bumisegoro.
            Sebuah naskah kuno karangan Mpu Prapanca di tahun 1365 M, yaitu kitab Negarakertagama mengungkapkan nama “Budur” untuk sebuah bangunan suci ajaran Budha dari aliran Wajradhara. Tepat di sebalah timur candi ada sebuah desa yang bernama “Boro”, jika kita gabungkan nama desa “Boro” dan nama “Budur” dalam kitab Negarakertagama, maka terjadilah kata “Borobudur” yang mana tidak menutup kemungkinan merupakan nama candi Borobudur yang kita kenal saat ini.
            Hal serupa dilakukan Raffles dalam menafsirkan kata majemuk “Borobudur”, kata “budur” diterangkan sebagai bentuk lain dari kata “Budha”, sedangkan kata “Boro” terambil dari bahasa Jawa Kuno “Bhara” yang berarti “Agung”. Maka kata “Borobudur” diartikan sebagai “Sang Budha yang Agung”, sehingga nama candi Borobudur diperoleh dari nama sang Budha (Dr. Soekmono, 1986: 40).
            Moens mengemukakan pendapatnya berdasarkan atas keadaan di India Selatan. Di India Selatan ia menemukan istilah “ Bharasiwa” untuk menyebut para pengikut setia Dewa Siwa. Maka dari itu, menurut Moens istilah “Bharabudha” merupakan sebuah istilah untuk menyebut para pengikut setia ajaran Budha. Ia menambahkan, bahwa dalam bahasa Tamil ada kata “ur” yang berarti “kota”, maka kata “Bharabudha + ur” menjadi kata “Bharabudhaur” yang berarti “kota para penjunjung tinggi Sang Budha” (Dr. Soekmono, 1986: 42).
            Pendapat Moens cukup menarik perhatian, tetapi kenyataannya perkataan “Bharabudha” merupakan rekontruksi belaka, sehingga tanggapan dari berbagai ahli sama sekali tidak ada. Menurut penulis, istilah “Borobudur” yang paling mendekati kebenarannya adalah sebagai mana yang di ungkapkan oleh Casparis, yang mana ia menemukan sebuah istilah “Bhumisam- Bharabudhara” pada sebuah prasasti kuno.

C.    Kisah dan Ajaran Sang Budha
a.      Bentuk dan Bangunan Borobudur
            Dalam mengamati bangunan candi Borobudur, kita mengenal teori Muusses yang mengatakan bahwa semua bangunan candi mengharuskan para pengunjungnya berkeliling. Berkeliling disini memiliki dua metode yaitu Prasawya dan Pradaksina. Prasawya adalah metode mengelilingi bangunan candi dengan arah berlawanan dengan arus jam, hal ini menunjukan bahwa bangunan candi tersebut merupakan pemakaman. Adapun Pradaksina adalah metode mengelilingi bangunan searah dengan jarum jam, hal ini menunjukan bangunan candi tersebut merupakan suatu penghormatan kepada Sang Dewa. Upacara Prasawya merupakan upacara penghormatan kepada leluhur atau nenek moyang yang bertalian dengan upacara Pitryajna, atau disebut juga sebagai upacara kematian. Sedangkan upacara Pradaksina merupakan bentuk pemujaan Sang Dewa. Maka pengamatan Borobudur jelas menggunakan Pradaksina (Parmono Atmadi, 1979: 18).
            Bagian kepala dari bangunan candi Borobudur merupakan bagian yang memberikan sifat utama dari candi Borobudur, bagian tengah atau bisa disebut dengan badan bangunan, memiliki hunungan yang erat dengan struktur penyangga bangunan tersebut, sedangkan pada bagian kaki langsung terletak di tanah yang berfungsi sebagai penyangga bangunan. Seperti layaknya candi budha yang lain, susunan bangunan candi Borobudur memiliki tiga tingkat yang mana menggambarkan ajaran Budha dalam membagi alam semesta menjadi tiga unsur, atau lebih dikenal dengan Dhatu dalam bahasa Sansekerta. Ketiga unsur tersebut adalah unsur nafsu ( Khamdhatu), unsur wujud (Rupadhatu), dan unsur tak berwujud (Arupadhatu). Para pendiri Borobudur tidak malakukan pembatasan yang tajam akan ketiga unsur- unsur tersebut malainkan meleburnya menjadi suatu kesatuan yang tunggal dan serasi (Yazir Marzuki, 1991: 21).
            Bangunan candi ini terdiri dari 55.000 m3 batu andesit yang tersusun berbentuk stupa, dengan lebar 123 m dan ketinggian sekarang 31,5 m mengalami penurunan dari tinggi aslinya yaitu 42 m. Di dalamnya terdapat 504 patung Budha diantaranya 72 didalam stupa berterawang dan 432 dalam relung terbuka di setiap 5 pagar pada 4 lorong. Secara rinci bagian Bagian Arupadhatu terdapat 72 stupa dan 1 stupa induk besar, kemudian pada tingkat Rupadhatu terdapat 4 lorong dengan 1300 gambar relief yang memiliki panjang seluruhnya 2,5 km dengan 1212 panil berukir, pada bagian dasar atau pada tingkat Kamadhatu terdapat 160 relief yang tertutup 13.000m3 batu.
            Seluruh bagian kamadhatu dan Rupadhatu terdapat relief pada dinding- dindingnya, bentuk hiasan dan gambaran pada dinding tidak hanya dimaknai sebagai sebuah karya seni, melainkan dimaknai sebagai sebuah penggambaran kisah dan ajaran Sang Guru kepada pengikut ajarannya. Lain halnya dengan yang kita jumpai di tingkat Arupadhatu, pada tingkat yang menggambarkan alam tak berujud ini, kita tidak mendapati relief- relief melainkan semua dindingnya polos. Pada tingkat ini hanya kita jumpai patung Sang Budha yang terdapat pada barisan stupa- stupa yang mengelilingi stupa induk megah mejulang pada bagian tengahnya.
            Pembagian menjadi tiga tersebut juga merupakan ajaran Budha tentang hukum Tilakhana yang mengacu pada tiga corak kehidupan manusia yang pasti terjadi dan terdapat pada segala kondisi. Tiga corak tersebut adalah pertama Sabba Sankhara Anicca yaitu segala sesuatu di alam ini merupakan perpaduan dari berbagai unsur, dan kesemuanya itu tidaklah kekal,  kedua adalah Sabbe Sankhara Dukkha yaitu rasa ketidak puasan pada sesuatu yang tidak kekal merupakan sumber penderitaan, adapun yang terakir adalah Sabbe Dharma Anatta yaitu pengertian bahwa tidak ada yang disebut “aku”, “jiwa”, ataupun “roh”, kesemuanya itu pada dasarnya adalah tidak ada, karena kesemuanya itu hanyalah pandangan egoisme terhadap diri (Upa Sasanasena Seng Hansen, 2008: 11).
            Mengapa berbentuk stupa?, jika kita pergi ke India maka kita akan mendapati bahwa bentuk bangunan yang berhubungan dengan nama Budha disebut Stupa. Jadi Stupa merupakan bentuk kubah pada suatu bangunan yang terdiri atas sebuah lapik dan diberi payung diatasnya. Arti daripada stupa ( R. Soetarno, 1988: 80) tersebut adalah:
a)      Sebagai sebuah tempat penyimpanan reliek peninggalan suci: benda, pakaian, tulang san Budha, Arhat dan Bhikkhu yang terkemuka.
b)      Sebagai sebuah tanda penghormatan kepada sang Budha.
c)      Sebagai suatu perlambangan yang suci ajaran Budha.
b.      Relief- Kisah dan Ajaran Budha
            Terdapatnya relief pada dinding candi Borobudur yang menggambarkan kisah dan ajaran Budha, menandakan bahwa Borobudur tidak hanya sebagai tempat berziarah, melainkan sebagai tempat belajar tentang kehidupan yang disampaikan oleh Sang Budha. Sebagai mana yang terdapat pada dinding candi bagian Kamadhatu , pada bagian ini terdapat relief yang menggambarkan adegan- adegan yang terdapat pada kitab ajaran Budha Maha-Karmawibhangga, Naskah tersebut mengutarakan bagaiman Budha mengajarkan perihal karma atau hukum sebab dan akibat dari perbuatan baik dan Jahat. Dan pada tingkat Rupadhatu menceritakan riwayat hidup Sang Budha, cerita Jataka atau kehidupan Sang Budha sebelum menjadi Budha, dan cerita pengembaraan Sudhanakumara yang tanpa lelah bertekat untuk mendapatkan “Hakikat yang Mutlak” (Dr. Soekmono, 1986: 53).
            Untuk memperjelas mengenai susunan dan pembagian relief candi Borobudur, perlu kirannya kita tampilkan dalam bagan berikut ini:
Kaki candi

Karmawibhangga
160 Pigura
Tingkat I
Dinding: a
Lalitawistara
120 Pigura

               b
Jataka/ Awadana
120 Pigura

Langkan:a
Jataka/ Awadana
372 Pigura

               b
Jataka/ Awadana
128 Pigura
Tingkat II
Dinding
Gandawyuha
128 Pigura

Langkan
Jataka/ Awadana
100 Pigura
Tingkat III
Dinding
Gandawyuha
88 Pigura

Langkan
Gandawyuha
88 Pigura
Tingkat IV
Dinding
Gandawyuha
84 Pigura

Langkan
Gandawyuha
72 Pigura
Jumlah
1460 Pigura

a)      Karmawibhangga
            Hukum karma merupakan hukum sebab akibat. Karma berarti kehendak yang meliputi keserakahan, kebencian dan kebodohan yang terwujud dalam sebuah tindakan. Penjelasan mengenai karma terdapat pula pada kitab Anguttara Nikaya, dalam kitab tersebut Budha Gautama bersabda:
“ O Bhikkhu, kehendak (diliputi oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin) untuk berbuat itulah yang ku namakan karma. Sesudah berkehendak seseorang akan berbuat dengan badan jasmani, perkataan, atau pikiran.”
Dan didalam kitab Samyutta Nikaya juga dijelaskan mengenai konsep karma, sebagai mana yang tertulis berikut ini:
“ Sesuai dengan binih yang ditabur, begitulah buah yang akan dipetiknya. Perbuatan kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula. Binih apapun yang engkau tabur, engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya. ” (Upa Sasanasena Seng Hansen, 2008: 14)

            Konsep karma disini tidak sama jika dimaknai dengan sebuah takdir. Banyak orang beranggapan bahwa karma itu adalah takdir, hal ini tercermin pada saat orang mengalami sebuah masa kesulitan dan ia menjadi mlarat, maka akan dikatan “itu sudah menjadi karmanya yang sedang berubah”. Ini merupakan sebuah kesalahan, karena pada dasarnya sifat dan cara kerja dari karma (ajaran Budha) sangat berbeda dengan konsep takdir. Karma tidak berjalan secara linier, dalam artian momen saat ini dibentuk oleh masa lampau dan masa saat ini, dan tindakan masa ini membentuk masa kini dan masa yang akan datang. Maka bagi seorang yang telah terbebas, segala perbuatannya tidak lagi dilandasi oleh kehendak, maka ini tidak dapat disebut karma. Karena telah memutus karma, berarti tidak ada lagi kelahiran kembali di alam penderitaan, yang demikian inilah disebut sebagai pencapaian Nibbana.
            Dalam ajaran Budha disebutkan bahwa Karma merupakan salah satu penyebab kematian seseorang. Dalam ajarannya, Budha menerangkan ada empat unsur penyebab kematian seseorang yaitu Ayukkhaya (habisnya masa hidup), Kammakkhaya (habisnya tenaga karma), Ubhayakkhaya (habisnya usia sekaligus akibat perbuatan), Upacchedaka (kecelakaan, bencana atau malapetaka). Ke-empat unsur tersebut digambarkan sebagai sebuah lentera yang padam akibat habisnya sumbu, habisnya bahan bakar (minyak), habisnya sumbu serta bahan bakar, dan karena angin (M. O’C. Walshe dan Willy Liu, 2010: 52).
            Dalam relief kaki candi Borobudur, bentuk karma dari perbuatan manusia diperlihatkan dalam 117 pigura, sedangkan selebihnya menjelaskan berbagai macam keadaan manusia sebagai akibat dari satu jenis perbuatan. Relief- relief ini memperlihatkan berbagai perbuatan manusia, baik yang sifatnya tercela sepertihalnya mulut usil, sampai pada aksi pembunuan, dan juga perbuatan luhur manusia seperti kemurahan hati, ziarah ketempat suci. Semua ini sebagai pengingat manusia untuk menjalani hidup terlepas dari samsara atau lingkaran lahir- hidup- mati yang terus berulang karena karma (Dr. Soekmono, 1986: 54).

b)      Lalitawistara
            Pada relief ini menggambarkan kisah Sang Budha Gautama. Sang Budha dilahirkan pada tahun 623 SM di taman Lumbini (kaki gunung Himalaya) sebagai anak dari raja Suddhodana dari Suku Sakya, ibunya bernama Maha Maya Dewi. Tujuh hari setelah melahirkan Gautama, ibunnya meninggal, sehingga ia di asuh oleh Maha Prajapati Gautami. Raja Suddhodana sangat bergembira akan kelahiran Gautama, hingga ia memanggil para pertapa untuk meramalkan nasib sang bayi. Pertapa Kondanna meramalkan bahwa Sang Pangeran kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sang Raja cemas, karena apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, maka tidak ada yang akan mewarisi tahta kerajaannya. Menyikapi hal tersebut Raja membuatkan istanah untuk tempat tinggal pangeran, yang mana lengkap dengan semua hal kebutuhan pangeran, dan dijauhkan dari unsur- unsur buruk di dunia ini (Yazir Marzuki, 1991: 9).
            Setelah beranjak dewasa, yaitu saat usianya mencapai 16 tahun Siddharta Gautama menikah dengan putri Yasodhara dan memiliki putra bernama Rahula. Usaha sang Raja dengan mengatur hidup pengeran yang serba kecukupan tidak bisa mengubah takdi sang Pangeran untuk menjadi Bodhisattwa. Dalam sebuah acara kerajaan Siddharta ikut serta melakukan perjalanan mengelilingi kota, hingga pada akhirnya ia berjumpa dengan empat pertemuan penting, yaitu 1. Orang yang sudah lanjut usia, 2. Orang yang sedang sakit,3. Orang sudah meninggal dunia, 4. Seorang pertapa (Pandita S. Widyadharma: 1-2).
            Setelah melihat kejadian- kejadian tersebut, Sang Budha memikirkan bagaiman caranya bisa terhindar dari bentuk- bentuk penderitaan tersebut. Maka di usianya yang ke- 29 tahun, Siddharta meninggalkan istana, keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat membebaskan manusia dari lanjut usia, kondisi sakit dan kematian. Hingga akhirnya ia bertemu dengan pertapa Alara Kalama kemudian berguru kepadanya, karena tidak puas ia berguru kembali dengan Uddaka Ramaputra. Karena dirasa masih kurang dan tidak memperoleh apa yang diharapkannya, Siddharta pergi meninggalkan ajaran falsafah para Brahmana. Ia lebih memilih untuk bertapa dan bermeditasi dibawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.
            Dalam usia 35 tahun pertapa Siddharta memperoleh Penerangan Agung, menjadi Buddha di bawah pohon Bodhi di hutan Uruvela (kini tempat tersebut disebut Buddha Gaya). Untuk pertama kalinya Beliau mengajarkan Dhamma yang maha sempurna kepada lima orang pertapa kawan Beliau di Taman Rusa Isipatana di dekat Benares. Adapun kelima orang pertapa itu adalah Kondanna, Bodhiya, Vappa, Mahanama dan Assaji. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha, Kondanna, segera menjadi Sotapanna dan kemudian menjadi Arahat. Yang lainnya pun menyusul menjadi Arahat. Khotbah pertama ini kemudian dikenal sebagai Khotbah Pemutaran Roda Dhamma (Dhamma Cakka Pavattana Sutta). Selanjutnya Sang Buddha sangat giat mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya sampai Beliau mangkat di Kusinara dalam usia 80 tahun (Dr. Soekmono, 1986: 64- 67).
            Selama empat puluh lima tahun, hidup Sang Budha dihabiskan untuk menyebarkan ajarannya yang berasas kepada Empat Kebajikan Kebenaran (The Four Noble Truth) yaitu Dukkha, Samudaya, Nirvana, dan Marga. Untuk mencapai kesempurnaan Hakikat yang Mutlak, ajaran Budha memilik delapan pegangan utama, yaitu:
1.      Kepercayaan yang benar (Samma ditthi).
2.      Tujuan atau cita-cita yang betul (Samma sankappa).
3.      Pertuturan yang baik (Samma vaca).
4.      Perbuatan yang benar (Samma kammanta).
5.      Hidup yang betul (Samma ajiva).
6.      Usaha yang benar (Samma vayama).
7.      Fikiran yang betul (Samma sati).
8.      Renungan yang baik (Samma samadhi) (Mohd Ridhuan Tee Abdullah, 2009: 5- 6).

c)      Jataka dan Awadana
            Dalam bagian ini menceritakan tentang Sang Budha, yaitu sebelum Siddharta dilahirkan. Pokok- pokok yang tertera dalam relief ini adalah penonjolan perbuatan baik yang mana membedakan Sang Bodhisattwa dengan makluk lain. Didalam relief dijelaskan bahwa untuk menjadi Budha manusia harus berusaha dengan keras, dan meninggalkan segala perbuatan yang dapat menimbulkan karma terlahir kembali.
            Relief ini berisi cerita Sang Budha, tetapi bukan kisah Sang Budha Gautama, akan tetapi kisah lain yang dihimpun dalam kitab Diwyawadana (Perbuatan- perbuatan mulia dewa) dan kitab Awadanasataka (seratus cerita Awadana). Cerita Diwyawadana terdapat pada lorong tingkat pertama, yang diawali dengan kisah Sudhanakumarawadana (perbuatan mulia Pangeran Sudhana) yang terpahad pada 20 bidang relief candi. Kisah sang Sudhanakumara sebagai seorang pangeran yang teguh dan sabar dalam menempuh lika- liku kehidupan, hingga ia menjadi seorang raja yang memerintah kerajaannya denga arif dan bijak sana serta memiliki istri cantik berwujud setengah burung dan setengah manusia (Kinnara) yang bernama Manohara.
            Satu deret yang sama menggambarkan kisah Rudrayana, seorang raja yang meninggalkan kehidupan duniawiyannya setelah menerima lukisan sang Budha, ia lebih memilih menjadi bikkhu Budha dan berusaha untuk bisa menggapai nirvana. Kisah- kisah lainnya lebih banyak menggambarkan akan kearifan, bijaksana, tujuan hidup, dharma, pikiran dan kesadaran yang dapat merubah manusia menjadi seorang Budha (Dr. Soekmono, 1986: 70- 74).
           
d)      Gandawyuha
            Pada bagian ini menggambarkan cerita Sudhana yang berkenalan mencari pengetahuan tertinggi dengan tanpa mengenal lelah, setelah menempuh panjangnya perjalanan dan banyaknya rahib yang dimintai untuk mengajari tentang kehidupan, hingga dengan sampainya sundhana ditempat bersemayamnya Bodhisattwa Samantabhadra. Selainnya menggambarkan wejangan- wejangan Samantabhadra dan mukjizat- mukjizat ajaib para Budha dan Bodhisattwa, dan tercapainya pengetahuan tertinggi tentang kebenaran sejati oleh Sundhana.
            Secara jelas pada relief ini menerangkan akan pencapaian kebenaran sejati dalam kehidupan. Hidup benar dalam ajaran Budha adalah  tercapainya suatu kebahagiaan sejati, yaitu suatu keadaan yang terbebas sepenuhnya dari penderitaan (Dukha). Adapun bagaimana cara mencapainya yaitu dengan membasmi kekotoran mental manusia. Kekotoran mental manusia dapat dibasmi oleh kekuatan kebijaksanaan (Panna). Ada 3 jenis kebijaksanaan:
1.      Kebijaksanaan yang diperoleh dari mendengar dan belajar Dhamma (Suta Maya Panna).
2.      Kebijaksanaan yang diperoleh dari pemikiran analitis atau penyelidikan (Cinta Maya Panna).
3.      Kebijaksanaan yang diperoleh dari pengembangan mental atau meditasi (Buntario Tigri, S.H: 15-16).
  
c.       Makna Arca dan Simbol Ajaran Budha
            Arca Budha candi Borobudur mudah sekali dikenal, karena memiliki beberapa ciri khas tersendiri. Arca candi Borobudur selalu digambarkan berwujud manusia dengan anggota banyak dan selalu memakai jubah rahib dengan ciri bahu kanannya terbuka pada sikap duduk, terdapat gelungan rambut diatas kepalanya, rambut keriting melingkar kekanan, dan terdapat tonjolan diantara kedua alis. Arca- arca tersebut memiliki sikap tangan yang berbeda- beda, sikap tangan Budha atau yang disebut sebagai Mudra, memiliki arti pelambangan khas.
            Dalam relung yang terdapat pada Borobudur terdapat patung- patung Budha tertentu, pada sisi sebalah timur terdapat Aksobhya dengan Bhumispar Camudra (bumi dipanggil menjadi saksi), di sebelah selatannya bersemayam Ratna Sembhawa dengan Waramudra (memberi anugrah atau berkah), pada sisi sebelah barat kita menjumpai Amithba dengan Dhyanamudra (mengheninkan cipta/ semedi), dan yang terahir di sisi sebelah utara terdapat Amogasiddha dengan Abdhayamudra (tidak takut bahaya). Ditambah lagi dengan patung yang menghadap kesegala arah yang menggambarkan puncak dengan sikap tangan Budha mengisyaratkan penalaran atau Witarkamudra, kemudian ada Dhayani Budha yang tersembunyi dalam setupa- stupa yaitu Wajrasatwa dengan Dharmacakramudra suatu gambaran perputaran roda hukum atau Darma dan(Yazir Marzuki, 1991: 63- 68).
            Dengan demikian, sikap tangan pada patung- patung candi Borobudur terdapat enam macam. Tetapi patung Budha yang menghadap ke segala arah pada rupadhatu dan arupadhatu dianggap sama sehingga jumlah macam mudra yang pokok ada 5 buah, hal ini sesuai dengan jumlah 5 mata angin pokok yaitu timur, barat, selatan, utara, dan pusat. Perbedaan sikap Budha terdapat pada sikap tangannya (Dr. Soekmono, 1986: 83):
1)      Bhumisparsamudra,menggamabarkan sikap tangan menyentuh tanah, tangan kiri terbuka menemhadah pangkuan, sedangkan tangan kanan menempel pada lutut kanan dengan jari- jarinya menunjuk kebawah. Sikap ini melambangkan kesaksian Budha.
2)      Abhayamudra,menggambarkan sikap tangan menenangkan dan mengisyaratkan ketidak gentaran dan tidak khawatir dengan sikap tangan kiri terbuka dan menengadah di pangkuan, disertai tangan kanan di angkat sedikit di atas lutut dan mengahadap kemuka.
3)      Dhayanamudra, penggambaran sikap semadi. Kedua telapak tangan diletakkan di pangkuan dengan posisi agak terangkat sedikit di atas lutut dan menghadap kemuka.
4)      Waramudra, sikap yang melambangkan kedermawaan. Sikap ini sepert Bhumisparcamudra tetapi tangan kanan menghadap keatas.
5)      Dhamacakramudra, perlambangan Dharma. Sikap dengan kedua tangannya diangkat hingga di dada, dengan posisi tangan kiri di bawah tangan kanan dan menghadap keatas, jari manis tangan kiri menyentuh ibu jarinya disertai tangan kanan menghadap kebawah menyentuh kelingkin tangan kiri .
6)      Witarkamudra, sebagai perlambangan sikap akal budi. Sikap tangan kiri diangkat keatas sedikit diatas lutut dan menghadap keatas, dan tangan kanan seperti Abhayamudra dengan jari telunjuk menyentuh ibu jarinya (Yazir Marzuki, 1991: 70).
            Sikap budha yang terukir dalam arca- arca ini, mengingatkan manusia untuk slalu teguh mengikuti ajaran- ajaran Budha. Seperti halnya arca Dhyanamudra merupakan bentuk ajaran Meditasi dalam ajaran Budha. Ada dua jenis meditasi, pertama samatha bhavana,meditasi dengan mengamati pada satu objek. Kedua vipassana bhavana, meditasi dengan mengamati beberapa objek  (Upa Sasanasena Seng Hansen, 2008: 34). Meditasi merupakan suatu bentuk latihan spiritual bagi Budha untuk memutus seuatu penderitaan. Tujuan dari meditasi untuk melihat esensi diri dan sampai pada akirnya timbunya kesadaran bahwa segala sesuatu tidaklah kekal, sehingga hal ini membantu pengembangan pandang benar.
            Archa Waramudra juga merupakan sikap darma dan welas asih, merupakan lambang tantang moralitas. Dalam ajaran Budha mengenal istilah Lokapaladhamma, yaitu hiri merupakan perasaan malu untuk melakukan hal- hal yang tidak baik, dan ottappa merupakan perasaan takut untuk tidak menerima akibat dari perbuatan yang tidak baik tersebut. Dasar pembentukan latian moralitas ini terdiri atas 5 aturan yaitu:
1.      Bertekat menghindari menyakiti makluk hidup.
2.      Bertekad menghindari pengembalian barang yang tidak diberikan.
3.      Bertekad menghindari perbuatan asusila
4.      Bertekan menghindari ucapan tidak benar
5.      Bertekan menghindari makan atau minum yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran dan menimbulkan ketagihan.

 D.    Penutup

            Candi Borobudur pada saat ini telah menjadi obyek wisata yang menarik banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain itu, Candi Borobudur telah menjadi tempat suci bagi penganut Budha di Indonesia, bahkan banyak para penganut ajaran Budha mancanegara yang berziarah serta melakukan latian sepiritual di Borobudur. Selain sebagai tempat wisata dan beribadah, Borobudur juga sebagai tempat belajar akan ajaran- ajaran Budha dan tempat beberapa ilmuan melakukan penelitian terhadap bangunan purbakala ini.
            Borobudur menjadi salah satu bukti kehebatan dan kecerdasan manusia yang pernah dibuat di Indonesia, mencerminkan majunya peradaban pada saat itu, dan luhurnya masyarakat dalam menjunjung tinggi ajaran- ajaran sepiritual. Kisah- kisah sang Budha terpahad pada dinding- dinding candi tersebut sebagai bahan ajar para pengikutnya untuk mencapai nirvana. Cerita- cerita dalam relief yang diambil dari beberapa kitab- kitab luhur menjadikan Borobur memilik khas sepiritual yang mendalam.
            Bagi bangsa Indonesia candi Borobudur adalah suatu bukti yang nyata tentang kebenaran di masa yang lalu, dan sekaligus merupakan pelita hati yang membimbing pemupukan kepercayaan pada diri sendiri demi tercapainya cita- cita nasional. Maka setelah peperangan kemerdekaan candi ini tidak luput dari perhatian pemerintah, beberapa ahli purbakala di hadirkan untuk melakukan studi di Borobur, dan tidak lama dari itu agenda besar mengenai pemugaran candi dilakukan untuk menghindari candi dari malapetaka kehancuran.
            Saat ini Borobudur terus mendapat perhatian banyak orang, dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia yang membanggakan, terutama bagi kalangan pemeluk ajaran Budha, Borobudur memiliki arti yang lebih dari sekedar sebuah candi, melainkan tempat yang suci dan tempat melakukan kegiatan- kegiatan luhur untuk menggapai tujuan hidup menurut ajaran Sang Budha. Banyak kalangan Bikkhu manca negara berdatangan ke Borobudur guna keinggin mereka untuk mendapatkan suatu pencerahan dalam hidup hingga mereka bisa menjadi nirvana.

E.     Daftar Pustaka
Atmadi, Parmono, 1979. Beberapa Patokan Perancanaan Bangunan Candi, Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (Desertasi).
Bhikkhu Bodhi, 2010. Jalan Menuju Akhir dari Penderitaan (the Noble Eightfold Path: the Way to the End of Suffering), Jakarta: Vijjakumara.
Bedjo, 2006. Penderitaan Menurut Agama Budha, Jurnal Teologi dan Pelayanan edisi 7.
Buntario Tigri, S.H, 1 Menit yang Mengubah Hidup Anda, Yayasan Dhammadasa, Email : dhammadasaindonesia@yahoo.co.id.
Dr. Soekmono, 1986. Candi Borobudur, A Monument of Mankind, Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Drs. R. Soetarno, 1988. Aneka Candi Kuno di Indonesia, Semarang: Dahara Prize.
Hansen, Upa Sasanasena Seng, 2008. Basic Buddhism: What Should We Know About Buddhism, Yogyakarta: Vidyasena Production.
M. O’C. Walshe dan Willy Liu, 2010. Ajaran Budha dan Kematian, Yogyakarta: Vidyāsenā Production.
Marzuki, Yazir dan Toeti Heraty, 1991. Borobudur, Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
Mohd Ridhuan Tee Abdullah, 2009. Asas- Asas Ajaran Budha Sebagai Perbandingan Agama, Selangor: Persatuan Ulama’ Malaysia Cawangan Selangor (PUMCS) (Seminar)
Pandita S. Widyadharma, Inti Sari Agama Budha, Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
Wirjosuparto, Drs. Sutjipto, 1956. Sedjarah Seni Artja India, Jakarta: Kalimosodo.





Labels