PENDAHULUAN
Berbagai ragam
permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut
masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan, kesehatan dan
sebagainya, seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam
kondisi yang demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang
dinamakan Masail Fiqhiyyah. Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu
ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal ini terjadi
karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan beragam
jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem pemecahan
yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan hukum.
Studi yang
menyangkut berbagai masalah fiqhiyyah tersebut terus berkembang seiring dengan
perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dahulu tidak ada kini bermunculan
yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.
Begitu dekatnya
masalah hukum ini dengan kehidupan umat Islam, menyebabkan bidang kajian
masalah ini sudah demikian akrab dengan masyarakat dibandingkan dengan studi
lainnya seperti tafsir, hadits, ilmu kalam dan sebagainya. Fiqhlah yang paling
banyak dikenal dan amat populer di masyarakat Indonesia.
Kajian terhadap
masalah ini sudah demikian lama dan telah melembaga di masyarakat Islam. Kajian
terhadap pertumbuhan ilmu fiqh, ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah sudah amat
berkembang. Hal yang demikian terjadi karena adanya perubahan sosial yang
berpengaruh terhadap perubahan hukum. Seiring dengan itu, kajian pemikiran
hukum Islam dari sudut theologi juga banyak dilakukan para ahli dengan berbagai
pendekatan yang digunakan.
Dalam menghadapi
perkembangan masyarakat yang semakin modern, telah muncul berbagai masalah di
sekitar, transplantasi organ tubuh dan masih banyak yang lainnya, yang mana mau
tidak mau akan mendorong para pakar hukum untuk mencarikan pemecahannya secara
komprehensif dan utuh.
Tentu saja
jawaban-jawaban tersebut diatas pada akhirnya menghendaki adanya metode dan
pendekatan yang digunakan. Dalam kaitan ini, telah pula muncul metodologi
ijtihad yang imam Ja’far al-Shiddiq dari kalangan Syi’ah Imamiyyah, istihsan
Abu Hanifah dan lain sebagainya.
Dengan
menggunakan berbagai pendekatan tersebut, maka para pakar hukum Islam, termasuk
dari Indonesia telah melakukan upaya jawaban hukum terhadap berbagai masalah
yang berkembang.
A.
Pengertian Transplantasi Organ Tubuh
Pengertian
transplantasi (pencangkokan) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya
hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak
berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa,
harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Dalam pelaksanaan
transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya :
Pertama, Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat
untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau
terjadi kelainan.
Kedua, Resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena
satu dan lain hal, organ tubuhnya harus diganti.
Ketiga, Tim ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari
pihak donor kepada resipien.
Berkenaan dengan
donor, transplantasi dapat dikategorikan
ke dalam tiga tipe, yaitu :
1.
Donor dalam keadaan hidup sehat. Dalam tipe ini perlu adanya seleksi yang
cermat dan harus dilakukan general check up (pemeriksaan kesehatan yang
lengkap menyeluruh), baik terhadap donor maupun terhadap resipien (penerima),
demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan penolakan tubuh
resipien dan sekaligus menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Sebab
menurut data statistik, 1 dari 1000 donor meninggal, dan si donor juga merasa
was-was dan merasa tidak aman, karena dia menyadari, misalnya bila dia donor
ginjal, dia tak akan memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.
2.
Donor dalam keadaan koma. Apabila donor dalam keadaan koma atau diduga kuat
akan meninggal segera, maka dalam pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat
kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan
khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai
proses pengambilan organ tubuhnya.[1]
Hanya, kriteria meninggal secara medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan
dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria itu ditandai dengan berhentinya denyut
jantung dan pernafasan[2],
atau ditandai dengan berhentinya fungsi otak.[3]
3.
Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini, organ tubuh yang akan
dicangkokkan diambil ketika donor telah meninggal berdasarkan ketentuan medis
dan yuridis, juga harus diperhatikan daya tahan organ yang akan diambil untuk
transplantasi[4],
apakah masih ada kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah
sel-sel jaringannya telah mati, sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.
Berdasarkan
uraian diatas, maka muncul suatu pertanyaan: “Bagaimanakah pandangan hukum
Islam tentang transplantasi organ tubuh, baik donor dalam keadaan sehat, dalam
keadaan koma, maupun dalam keadaan meninggal?”. Inilah yang menjadi pokok
masalah dalam tulisan ini, yang mana dalam pembahasannya berpedoman pada hukum
Islam (Quran dan Hadits) secara eksplisit, serta mengaitkan hal tersebut pada
qaidah fiqhiyyah yang benar.
B.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh
1.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila
transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup
sehat, maka hukumnya ‘Haram’, dengan alasan :
a.
Firman Allah dalam Al Quran surah Al Baqarah ayat 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan”.
Ayat tersebut mengingatkan manusia, agar jangan
gegabah dan ceroboh dalam melakukan sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya
yang kemungkinan bisa berakibat fatal bagi diri donor, walaupun perbuatan itu
mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik dan luhur. Umpamanya seseorang
menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada orang lain yang memerlukannya
karena hubungan keluarga, teman atau karena berharap adanya imbalan dari orang
yang memerlukan dengan alasan krisis ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini,
yaitu donor organ tubuh yang mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya,
disebabkan karena organ tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk
ikhtishash), maka tidak boleh memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak
mempergunakannya, walaupun organ tubuh itu dari orang lain.
Orang yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu
masih hidup sehat kepada orang lain, ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran,
karena mustahil Allah menciptakan mata atau ginjal secara berpasangan kalau
tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi seorang manusia. Maka bila ginjal si donor
tidak berfungsi lagi, maka ia sulit untuk ditolong kembali. Maka sama halnya,
menghilangkan penyakit dari resipien dengan cara membuat penyakit baru bagi si
donor. Hal ini tidak diperbolehkan karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh dihilangkan dengan
bahaya (kemudharatan) lainnya”.[5]
b.
Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan/resiko, didahulukan dari/atas
menarik kemaslahatan”.[6]
Berkaitan transplantasi, seseorang harus lebih
mengutamakan menjaga dirinya dari kebinasaan, daripada menolong orang lain
dengan cara mengorbankan diri sendiri dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak
mampu melaksanakan tugas dan kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam
melaksanakan ibadah.
2.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan
transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram,
walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal
itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut
dapat dikatakan ‘euthanasia’ atau mempercepat kematian. Tidaklah
berperasaan/bermoral melakukan transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam
keadaan sekarat. Orang yang sehat seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang
yang sedang koma tersebut, meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma
tersebut sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang
dapat sembuh kembali walau itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis,
pasien tersebut sudah tidak ada harapan untuk hidup. Maka dari itu, mengambil
organ tubuh donor dalam keadaan koma, tidak boleh menurut Islam dengan alasan
sebagai berikut :
a.
Hadits Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi
dan al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu
‘Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada diri sendiri dan
tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”. [7]
Berdasarkan hadits tersebut, mengambil organ tubuh
orang dalam keadaan koma/sekarat haram hukumnya, karena dapat membuat madharat
kepada donor tersebut yang berakibat mempercepat kematiannya, yang disebut
euthanasia.
b.
Manusia wajib berusaha untuk menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan
hidupnya, karena hidup dan mati berada di tangan Allah. Oleh karena itu,
manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri atau mempercepat kematian orang
lain, meskipun hal itu dilakukan oleh dokter dengan maksud mengurangi atau
menghilangkan penderitaan pasien.
3.
Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Meninggal
Mengambil organ
tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara yuridis dan
medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam dengan syarat
bahwa :
a.
Resipien (penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang
mengancam jiwanya bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah
berobat secara optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal
ini berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat akan membolehkan yang diharamkan”.[8]
Juga berdasarkan qaidah
fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”.[9]
b.
Juga pencangkokan cocok dengan organ resipien dan tidak akan menimbulkan
komplikasi penyakit yang lebih gawat baginya dibandingkan dengan keadaan
sebelumnya. Disamping itu harus ada wasiat dari donor kepada ahli warisnya,
untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia meninggal, atau ada izin dari ahli
warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada pilihan lain yang
lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah meninggal untuk
kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum Islam dengan syarat
ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih hidup) dan izin
keluarga/ahli waris.[10]
Adapun fatwa MUI tersebut dikeluarkan setelah
mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF bedah jantung RS
Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup jantung serta hal-hal
yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada tanggal 16 Mei 1987. Komisi
Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan tentang masalah tersebut
beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.[11]
Adapun dalil-dalil yang dapat menjadi dasar
dibolehkannya transplantasi organ tubuh, antara lain:
a.
Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 195 yang telah kami sebut dalam pembahasan
didepan, yaitu bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam
bahaya, tanpa berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk
upaya transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi
sehat kembali.
b.
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32:
وَمَنْ أَحْياَهَا فَكَأَنمَّاَ أَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعاً
“Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tindakan
kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat dihargai oleh agama Islam, tentunya
sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan diatas.
c.
Al-Quran surah Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam
kebaikan dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa”. Selain itu juga
ayat 195, menganjurkan agar kita berbuat baik. Artinya: “Dan berbuat baiklah
karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.
Menyumbangkan organ tubuh si mayit merupakan suatu
perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan, karena memberi manfaat bagi orang
lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan transplantasi dilarang
oleh agama Islam, karena agama Islam memuliakan manusia berdasarkan surah
al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia walaupun sudah menjadi mayat,
berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya memecahkan tulang mayat
muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih hidup”. (HR. Ahmad,
Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq dari ‘Aisyah).[12]
Tetapi menurut Abdul Wahab al-Muhaimin; meskipun
pekerjaan transplantasi itu diharamkan walau pada orang yang sudah meninggal,
demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat membutuhkannya, maka
hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan transplantasi itu tidak ada
unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan kepadanya.[13]
Hal ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :
ِإذَا تَعَارَضَتْ مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا
ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertemu dua hal yang mendatangkan mafsadah
(kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan madharat yang paling besar,
dengan melakukan perbuatan yang paling ringan madharatnya dari dua madharat”.[14]
d.
Hadits Nabi saw.
تَدَاوُوْا عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ دَاءً
إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena
sesungguhnya Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah
meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”.
(HR.
Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)
Oleh sebab itu, transplantasi sebagai upaya
menghilangkan penyakit, hukumnya mubah, asalkan tidak melanggar norma ajaran
Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda pula : “Setiap
penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka penyakit itu akan sembuh
atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari Jabir).[15]
Selanjutnya
berkenaan dengan hukum antara donor dan resipien yang seagama atau tidak
seagama, serta hukum organ tubuh yang diharamkan seperti babi, juga dapat
menimbulkan masalah, tetapi hal tersebut dapat dikaji berdasar ayat-ayat
Al-Quran surah al-Najm 38-41 :
1.
“Bahwa seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan
bahwa manusia itu tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa
usahanya itu kelak akan diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasannya dengan
balasan yang paling sempurna”.
2.
Al-Quran surah al-Baqarah ayat 286 : “Ia mendapat pahala dari kebajikan
yang diusahakannya itu dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dikerjakannya”.
Berdasar
ayat-ayat diatas, berkenaan dengan hubungan antara donor dengan resipien yang
menyangkut pahala atau dosa maka dalam hal ini mereka masing-masing akan
mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan mereka sendiri-sendiri. Mereka
tidak akan dibebani dengan pahala atau dosa, kecuali yang dilakukan oleh
masing-masing mereka. Yang perlu diingat, bahwa yang salah bukan organ tubuh,
tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat syaraf. Oleh sebab itu, tidak perlu
khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk
kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini sama dengan hukum
tranfusi darah. Namun alangkah baiknya dan sangat diharapkan demi kemaslahatan,
jika organ tubuh itu kita dapatkan dari seorang muslim juga, demi ketenangan
kita dalam menjalankan kehidupan untuk ibadah, dengan dasar :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ اْلإِباَحَةُ حَتىَّ يَدُلَّ
الدَّلِيْلُ عَلىَ التَّحْرِيْمِ
Selanjutnya,
bertalian dengan transplantasi dengan organ tubuh hewan diharamkan yang
dicangkokkan kepada manusia, seperti katup jantung babi atau ginjalnya, dalam
hal ini haram hukumnya, dengan dasar qaidah fiqh :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ التَّحْرِيْمُ
“Pada dasarnya segala sesuatu
itu adalah haram”.
PENUTUP
Demikianlah
pokok-pokok pikiran tentang pandangan hukum Islam terhadap transplantasi organ
tubuh yang dapat penulis uraikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bi
al-shawab.
[1] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: Haji Masagung,
1991), hal. 84
[2] Rumusan PP No. 18/1981
[3] Rumusan Kongres IDI tahun 1985
[4] “Donor Tubuh”, Panji Masyarakat, No. 514, Tahun XXVIII, 1
September 1986, hal. 14-21
[5] Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair, (Beirut-Lebanon:
Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M), hal. 62
[6] Ibid, hal. 63
[7] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, (Beirut: Dar-al-Kutub al-Ilmiah, tt), Cet. IV,
Jilid II, hal. 203
[8] Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 61
[9] Ibid, hal. 60
[10] MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia,
(Jakarta: Sekretariat MUI, 1415 H/1995 M), hal. 176
[11] Ibid, hal. 176-177
[12] Al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, Jilid I, hal. 93
[13] Abuddin Nata (ed), Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama UIN
Press Jakarta 2003, hal. 103
[14] Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair, hal. 63
[15] Al-Suyuthi, al-Jami’ as-Shaghir, Jilid I, hal. 130
Posting Komentar