I. PENDAHULUAN
Islam
menghendaki agar komunitas muslim bersih dari penyakit-penyakit masyarakat yang
sangat merusak seperti zina. Oleh karena itu, Islam berusaha menghilangkan
tempat-tempat tumbuhnya kerusakan dan menutup celah-celah yang menuju pada
kerusakan. Selanjutnya, Islam mensyari’atkan berbagai al-hudud untuk
mencegah semuanya.
Didalam
Islam, hukum dan peraturan itu adalah dari Allah swt. Anak zina hanya menerima
warisan yang tidak baik dari perbuatan dua manusia yang bersalah itu, dan
berbagai macam masalah kehidupan.
Seperti
yang terjadi pada kasus persengketaan mengenai hak waris dari anak luar nikah
yang dimuat pada majalah mingguan Tempo tanggal 22 April 1989. Persengketaan ini
menarik perhatian berbagai pihak, terutama pakar hukum. Menariknya kasus ini
karena yang saling menggugat adalah para pengusaha besar dan pemegang saham NV
The City Factory yang berpatungan dengan perusahaan Jepang dalam memproduksi
kosmetik.
Dalam
sengketa itu, wakil presiden direktur PT. Tancho Indonesia Co. Ltd., Wilson
Suryadi Sutan menggugat kedua keponakannya Tora Sutanto dan Yulianti Sutanto
yang telah mewarisi 20% saham bernilai milyaran rupiah dari mendiang ibu
kandungnya, Nyonya Lindawati Ibrahim. Menurut Wilson, warisan Lindawati itu
seharusnya jatuh kepadanya dan saudara-saudaranya, bukan kepada anak mendiang.
Alasannya, Tora dan Yulianti hanyalah anak luar nikah yang tidak pernah diakui
secara sah oleh Lindawati Ibrahim.
Semula
NV The City Factory merupakan perusahaan keluarga, warisan dari Ibrahim Sutan,
orang tua Wilson, Imelda, Lindawati dan Uman. Pada tahun 1969, perusahaan itu
melakukan joint venture dengan Tancho Kabushiki Kaisha dari Jepang yang
mendirikan PT. Tancho Indonesia dengan saham pihak Jepang 40% dan pihak NV The
City Factory 60%. Setelah Ibrahim wafat pada tahun 1974, saham NV City Factory
itu dibagi menjadi Wilson 40%, Imelda, Uman dan Lindawati, masing-masing 20%.
Pada
bulan Oktober 1984, Nyonya Lindawati meninggal. Ia meninggalkan dua orang anak,
Tora dan Yulianti. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada bulan Desember 1986
telah menetapkan kedua anak itu menjadi ahli waris yang sah dari mendiang
Lindawati Ibrahim. Pewarisan saham yang 20% itu telah disetujui oleh pihak
Wilson dan saudaranya. Tetapi kemudian Wilson berpendapat bahwa Tora dan
Yulianti sama sekali tidak berhak mewarisi dari ibunya sendiri. Ia kemudian
mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Alasannya, karena anak diluar nikah,
menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak bisa mewarisi kecuali bila
sudah diakui oleh kedua orangtuanya.
Kasus
diatas hanya sebagai contoh dari pengakuan anak luar nikah dan akibat hukumnya.
Dalam hal ini, penulis ingin berusaha mengetengahkan pembahasan-pembahasan
tentang : (1) kedudukan anak luar nikah menurut hukum Islam, (2) pengakuan anak
luar nikah dalam hukum Islam, (3) dan bagaimana akibat hukumnya, termasuk dalam
masalah waris-mewarisi.
Pembahasan
tentang masalah-masalah itu ternyata telah dikemukakan oleh para Fuqaha
terdahulu baik hal itu secara langsung atau tidak langsung, yang termuat dalam
beberapa kitab Fiqh perbandingan seperti Bidayatul Mujtahid Ibnu Rusyd dan
lainnya.
II. MASALAH PERGAULAN BEBAS
DILUAR NIKAH
Kelahiran
luar nikah (illegal) merupakan salah satu problem masyarakat dunia, khususnya
di negara Barat sebagai akibat pergaulan bebas dan kebejatan moral masyarakat,
bertambahnya kelahiran illegal ini karena perbuatan zina yang tak terhitung
lagi.
Dari
akibat tersebarnya budaya pergaulan yang sangat bebas, tanpa adanya batasan
dalam pergaulan dan juga persamaan antara laki-laki dengan wanita, sehingga
diantara negara-negara Islam dan negara yang mayoritas penduduknya muslim
sendiripun mengalami problem perzinaan dan kelahiran illegal (luar nikah).
Dalam
hal ini, ada perbedaan yang tajam antara hukum Islam disatu pihak dan hukum
perdata (KUH Perdata) atau KUH Pidana dilain pihak dalam menanggapi hubungan
bebas diluar nikah.
Berikut
ini penjelasan beberapa prinsip yang terkandung dalam hukum Islam dan hukum
positif.
Dalam
pasal 272 KUH Perdata dijelaskan : Bahwa setiap anak yang dilahirkan diluar
nikah (antara gadis dan jejaka) dapat diakui, sekaligus dapat disahkan, kecuali
anak-anak yang dibenihkan dari hasil zina, atau dalam sumbang. Adapun yang
dimaksud anak sumbang adalah anak yang lahir dari hubungan antara laki-laki dan
wanita yang dilarang kawin antara keduanya (anak melanggar darah). [1]
Apabila
diperhatikan secara seksama pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan seks diluar nikah yang dilakukan oleh seorang gadis dengan jejaka
tidak dianggap sebagai zina, karena itu anak yang lahir sebagai akibat hubungan
mereka bisa diakui sebagai anak yang sah. Sedangkan anak hasil zina tidak dapat
diakui atau disahkan sebagai anak yang sah. Hal ini berarti, bahwa zina adalah
hubungan seks yang dilakukan diluar nikah oleh mereka yang sudah bersuami atau
beristri.
Konsekuensi
yuridis dari pengertian zina, ditinjau dari segi hukum pidana adalah bahwa yang
dapat dihukum hanyalah hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang sudah
bersuami atau beristri, sedangkan mereka yang melakukan hubungan seks dari
kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai hukuman pidana. Hal ini dapat dilihat
dalam pasal 284 sebagai berikut :
“Suatu pengakuan
terhadap seorang anak luar kawin, selama hidup ibunya, pun jika ibu itu,
termasuk golongan Indonesia atau golongan yang dipersamakan dengan itu tak akan
dapat diterima, jika si ibu tidak menyetujuinya. Jika anak yang demikian itu
diakui setelah ibunya meninggal dunia, maka pengakuan tidak mempunyai akibat
lain, melainkan terhadap bapaknya. Dengan pengakuan terhadap seorang anak luar
kawin yang ibunya termasuk golongan Indonesia atau golongan yang dipersamakan
dengan itu berakhirlah hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan luar
kawin itu, dengan tak mengurangi akibat-akibat pengakuan oleh si ibu dalam
hal-hal bilamana kepadanya karena kemudian kawin dengan si bapak, diberikan
untuk itu”. Dan juga pasal 285.
Jadi,
berdasarkan pasal itu, hubungan seks antara laki-laki dan wanita yang belum
menikah, baik karena suka sama suka, semen leven atau istilah sekarang
“kumpul kebo”, secara yuridis formal tidak dapat dipidana menurut KUH Pidana
yang mengatur masalah perkosaan.
Dengan
rumusan zina seperti yang termaktub dalam KUH Perdata dan KUH Pidana itu, banyak
berakibat negatif terhadap pergaulan antara remaja putera dan puteri, bahkan
dalam tata pergaulan masyarakat pada umumnya.
Dengan
makin longgarnya nilai-nilai pergaulan dalam masyarakat, kontrol sosial yang
lemah, ketidakadilan hukum yang memberikan sanksi yuridis, bisa dimengerti
kalau banyak terjadi kasus-kasus kriminal dibidang seks. Bahwa betapa banyaknya
remaja yang melakukan penyimpangan ini, memang banyak faktor yang mengakibatkan
terjadinya penyimpangan, akan tetapi paling tidak faktor undang-undang yang
tidak mengikat mereka juga merupakan andil yang tidak kecil untuk terjadinya
hal ini.
A.
Zina
Dalam
hukum Islam, melakukan hubungan seks antara laki-laki dan wanita tanpa diikat
oleh akad nikah yang sah disebut zina. Hubungan tersebut tanpa dibedakan,
apakah pelakunya gadis, bersuami atau janda, jejaka, beristri atau duda.
Ada dua
macam istilah yang biasa dipergunakan bagi pelaku zina, yaitu zina muhson dan
zina ghoir muhson. Yang dimaksud zina muhson ialah zina yang dilakukan
oleh orang yang telah atau pernah nikah, sedang ghoir muhson ialah zina yang
dilakukan oleh orang yang belum menikah.
Islam
tidak menganggap bahwa zina ghoir muhson yang dilakukan oleh gadis atau jejaka
sebagai perbuatan biasa, melainkan tetap menganggapnya sebagai zina yang harus
dikenakan (had) zina. Hanya saja kuantitas dan frekuensi hukuman antara
zina muhson dan zina ghoir muhson ada perbedaan. Bagi muhson, hukumannya
dirajam sampai mati, sedangkan bagi ghoir muhson hukumannya dicambuk 100 kali
seperti yang telah dijelaskan dalam QS. An-Nuur : 2.
Adapun
syarat orang dikategorikan muhson adalah sebagai berikut[2] :
وَشُرُوْطُ
اْلإِحْصَانِ أَرْبَعَةُ أًشْيَاءٍ : اْلبُلُوْغُ وَاْلعَقْلُ وَاْلحُرِّيَّةُ
وَوُجُوْدُ اْلوَطْءِ فيِ نِكَاحٍ صَحِيْحٍ.
"Syarat-syarat ihson ada empat hal, yaitu : baligh,
berakal, merdeka dan terdapatnya senggama dalam nikah yang sah".
Islam melarang zina dengan pernyataan yang keras, bahkan sanksi bagi mereka yang melakukannya,
larangan yang cukup bijaksana mengenai zina dimulai dengan perintah tidak boleh
mendekati zina.
Ditegaskan dalam firman Allah swt. :
وَلاَ تَقْرَبُوْا
الزِّناَ إِنَّهُ كَانَ فاَحِشَةً وَسَاءَ سَبِيْلاً.
“Dan janganlah kamu mendekati
zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang
buruk”. (Al-Isra : 32)
Manusia yang normal dan
sadar kedudukannya sebagai manusia pasti akan berpendapat bahwa seks bebas (free
sex) merupakan perbuatan terkutuk.
Bertrand Russel dalam bukunya The Principles of Social Reconstruction, sebagaimana dikutip oleh
Dr. Fuad Muhammad Fakhruddin, menyatakan :
“A very rather small section of the public genuinely believes that sexual
relations outside marriage are wicked; those who believe this are kept in
ignorance of the conduct of friends who feel otherwise, and are able to go
through life no knowing how others live of what others think”. [3]
(Sebagian masyarakat umum yang sungguh-sungguh berpendapat bahwa hubungan
kelamin diluar nikah adalah tidak sopan. Mereka yang berpendapat demikian
mengabaikan kelakuan pihak lain yang berlainan dan mereka sanggup melalui jalan
hidup tanpa mengetahui pihak lain itu hidup dan berfikir).
Dalam masalah zina, Islam tidak memberikan hukuman tanpa adanya alat bukti yang sah dan meyakinkan,
karena itu, sebaiknya masalah hukuman zina ditangani dan diselesaikan oleh
pengadilan.
Menurut hukum di Indonesia, anak zina ialah yang lahir
diluar perkawinan yang sah, sedangkan perkawinan yang diakui di Indonesia ialah
perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku,
(vide pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh
pegawai pencatat dari KUA untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
hukum Islam, sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut
hukum agamanya dan kepercayaannya selain Islam, maka pencatatan perkawinannya
dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (vide
pasal 2 (1) dan (2) PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 tentang
perkawinan).
Berdasarkan ketentuan pasal-pasal dan ayat-ayat tersebut
diatas, maka perkawinan penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum
Islam misalnya, tetapi tidak dicatat oleh pegawai pencatat dari KUA, atau
perkawinan yang dicatat oleh pegawai pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi
perkawinan tersebut tidak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya,
maka perkawinan tersebut tidak sah menurut negara. Anak yang lahir diluar
perkawinan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya (vide pasal 43 (1) PP No. 9/1975).[4]
B.
Beberapa Akibat Negatif Dari Zina
Islam
menganggap zina sebagai tindak pidana (jarimah) yang sudah ditentukan
sanksi dan hukumnya (had zina), ketentuan ini sudah pasti mempunyai tujuan,
yaitu agar manusia tidak terjerumus kepada perbuatan terkutuk, dimurkai Allah
swt. dan bertentangan dengan akal yang sehat.
Sehubungan
dengan hal ini, Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnah memberikan alasan dijadikan zina
sebagai salah satu tindak pidana.[5]
Alasan-alasan itu antara lain :
1. Zina dapat menghilangkan
nasab (keturunan) dan secara otomatis menyia-nyiakan harta warisan ketika
orangtuanya meninggal.
2. Zina dapat menyebabkan
penularan penyakit yang berbahaya kepada orang yang melakukannya, seperti
penyakit kelamin siphilis.
3. Zina merupakan salah satu
sebab timbulnya pembunuhan, karena rasa cemburu merupakan rasa yang ada pada
setiap manusia.
4. Zina dapat menghancurkan
keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan eksistensinya, bahkan dapat memutuskan
hubungan keluarga termasuk anak-anaknya.
5. Zina hanya sekedar hubungan
yang bersifat sementara, tidak ada masa depan dan kelanjutannya.
Adapun
tujuan hukuman menurut Hukum Pidana Islam ialah sebagai berikut :
1. Untuk Preventif, artinya
untuk mencegah semua orang agar tidak melanggar larangan agama dan melalaikan
kewajiban agama dengan adanya sanksi-sanksi hukumannya yang jelas;
2. Untuk Represif, artinya untuk
menindak dengan tegas siapa saja yang melanggar hukum tanpa diskriminasi demi
menegakkan hukum (law enforcement).
3. Untuk Kuratif dan Edukatif,
artinya untuk menyembuhkan penyakit mental/psikis dan memperbaiki akhlak pelaku
pelanggaran/kejahatan agar insaf dan tidak mengulangi perbuatannya yang
jelek/jahat.
4. Untuk melindungi
masyarakat/negara dan memelihara ketertiban dalam masyarakat.
III. STATUS ANAK DILUAR
NIKAH DALAM ISLAM
A. Pengertian Anak Luar Nikah
Yang
merupakan kriteria anak zina atau anak luar nikah dalam ajaran Islam dapat
dikutip dari pendapat Hassanain Muhammad Makluf tentang anak hasil zina:
وَلَدُ الزِّناَ هُوَ اْلوَلَدُ الَّذِي أَتَتْ بِهِ أُمُّهُ مِنْ سِفَاحٍ،
وَوَلَدُ اللِّعَانِ هُوَ اْلوَلَدُ الَّذِي حُكِمَ بِنَفْيِ نَسَبِهِ مِنْ أبيه
بعد الملاعنة بين الزوجين بالصفة المبينة.
Anak zina ialah anak yang dilahirkan ibunya dari hubungan yang tidak sah.
Dan anak li’an ialah anak yang secara hukum tidak dinasabkan kepada bapaknya,
setelah suami-istri saling me-li’an dengan sifat (tuduhan) yang jelas.
Apabila telah terjadi perkawinan antara
suami-istri secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, maka
suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila :
a. Istri melahirkan anak sebelum
cukup masa kehamilan.
b. Melahirkan anak setelah lewat
batas maksimal masa kehamilan dari masa perceraian.
Jumhur
Fuqaha memberikan batas minimal masa kehamilan selama enam bulan.[6]
Adapun dasar pemikiran mereka bertitik-tolak dari ayat-ayat al-Quran sebagai
berikut :
“Mengandung
dan menyapihnya itu selama tiga puluh bulan”.
(Al-Ahqaf : 15)
Kemudian
dijelaskan dalam firman Allah swt. :
“Dan Kami perintahkan
kepada manusia terhadap dua orang ibu-bapaknya, ibunya telah mengandungnya
dalam keadaan lemah dan bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”. (Luqman : 14)
Dalam surat
al-Ahqaf ayat 15 dijelaskan secara kumulatif, jumlah mengandung dan menyapih,
yaitu 30 (tiga puluh) bulan. Sedangkan dalam surat Luqman ayat 14 dijelaskan
batas maksimal menyapih adalah dua tahun (24 bulan). Jadi masa hamil yang
paling sedikit adalah 30 bulan dikurang 24 bulan sama dengan 6 bulan.
Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa apabila istri melahirkan anaknya kurang dari
enam bulan masa kehamilan, maka suami bisa mengajukan keberatan atas anak yang
dilahirkan itu. Bahkan secara yuridis anak itu bukan lagi dianggap anak yang
sah. Begitupula halnya jika wanita yang telah dicerai suaminya lalu ia
melahirkan anak pada masa yang lebih dari sembilan bulan sampai satu tahun,
maka anak itu bukan dari suaminya.
B. Kedudukan Anak Diluar
Nikah
Islam
mengajarkan kepada umatnya bahwa anak yang dilahirkan secara sah sesuai dengan
ketentuan ajaran Islam mempunyai kedudukan yang baik dan terhormat. Anak itu
mempunyai hubungan dengan ayah dan ibunya, maka ia berhak mendapatkan
pendidikan, bimbingan berikut nafkah atau biaya hidupnya dari orang tua sampai
ia bisa hidup mandiri (dewasa).
Sebagai
bukti lebih lanjut, keterikatan antara anak dan kedua orangtuanya, timbullah
diantara keduanya hak dan kewajiban. Seorang anak wajib menghormati dan
mentaati kedua orangtuanya selama ia tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Ia
dilarang untuk menyakiti secara lisan apalagi secara fisik kepada keduanya.
Sehubungan
dengan hal ini, Allah berfirman :
“Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku beritakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan”. (Luqman : 15)
Sebaliknya
orang tua yang mendapat hak dan penghormatan dari anaknya itu berkewajiban
untuk mendidik dan memberinya rizki (biaya) yang layak sesuai dengan
perkembangan anak itu sendiri, seperti yang telah dijelaskan dalam surat
Al-Baqarah ayat 233.
Ayat
ini memberi kewajiban kepada seorang ibu untuk menyusui atau memberi makan
kepada anaknya, sehingga tumbuh dengan baik dan sehat. Sedangkan bapak
berkewajiban secara umum memberi nafkah kepada ibu yang menyusui anaknya
sekaligus menafkahi anaknya.
Bahkan
melalui ayat ini diambil kesimpulan bahwa anak yang sah dari segi nasab harus
dihubungkan kepada bapaknya.
Imam
As-Syafi’i berpendapat bahwa anak dapat dianggap sah dan dapat dihubungkan
kepada ayahnya dengan semata-mata adanya akad nikah antara ayah dan ibunya.[7]
Berbeda
halnya dengan Imam Ahmad ibn Hanbal yang menyatakan; bahwa penentuan nasab anak
terhadap ayahnya harus dipastikan adanya hubungan kelamin antara ayah dan
ibunya.
Dari
uraian diatas dapat dipahami bahwa anak baru dihubungkan nasabnya kepada
ayahnya apabila ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Sedangkan anak hasil
zina (di luar nikah) hanya dihubungkan kepada ibunya saja.
Menurut
Ibnu Rusyd:
وَاتَّفَقَ اْلجُمْهُوْرُ عَلَى أَنَّ
أَوْلاَدَ الزِّنَا لاَيلُْحَقُوْنَ بِآبَائِهِمْ إِلاَّ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ
وَشَذَّ قَوْمٍ فَقَالُوْا: يَلْتَحِقُّ وَلَدُ الزِّنَا فِى اْلإِسْلاَمِ,
أَعْنَى الَّذِيْ كَانَ عَنْ زِنَا فِى اْلإِسْلاَمِ.
Jumhur (sahabat) berpendapat, bahwa
anak-anak hasil zina tidak dihubungkan nasabnya kepada bapak-bapak mereka,
kecuali pada masa jahiliyyah…Ada pendapat ganjil yang menyalahi ketentuan ini.
Mereka berkata anak hasil zina dapat dihubungkan (kepada bapaknya) pada masa
Islam, yaitu anak yang dilahirkan dari perzinaan pada masa Islam.[8]
Pandangan Ibnu Rusyd diatas sebagai
realisasi dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar r.a sebagai
berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ الله عَنْهُ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَعَنَ بَيْنَ رَجُلٍ
وَامْرَأَتِهِ فَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا فَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا وَأَلْحَقَ
الْوَلَدَ بِالْمَرْأَةِ.
Dari Ibnu Umar r.a, bahwa di masa Nabi
SAW telah meli’an antara seorang laki-laki dengan istrinya. Ia (suami)
mengingkari anaknya, maka ia (Nabi) menceraikan keduanya dan menghubungkan
nasab kepada ibunya.
IV. AKIBAT HUKUM ANAK
YANG TIDAK SAH
Apabila
seorang anak dilahirkan secara tidak sah (di luar pernikahan) maka ia disebut
sebagai anak luar nikah (anak zina). Sebagai akibatnya, ia tidak dinasabkan
pada ayahnya, melainkan hanya pada ibunya. Ketentuan ini terdapat dalam
Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam.
Namun
demikian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada ketentuan, bahwa anak
tersebut dapat dianggap sebagai anak yang sah setelah diakui sebagai anak
sekaligus disahkan sebagai anak, maka akibatnya timbullah hak dan kewajiban
timbal balik antara anak dengan orang tuanya.
Sedangkan
dalam Hukum Islam tetap dianggap sebagai anak yang sah, karena itu berakibat
hukum sebagai berikut:
a. Tidak ada hubungan nasab
kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah
Secara yuridis formal, ayah tidak wajib memberikan nafkah kepada anak itu,
walaupun secara biologis dan geneologis anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi
hubungan kekerabatan hanya berlangsung secara manusiawi, bukan secara hukum.
b. Tidak ada saling mewarisi
Antara anak zina dengan laki-laki yang mencampuri ibunya tidak dapat saling
mewarisi satu sama lain, karena nasab merupakan salah satu sebab mendapatkan
warisan. Begitu pula keluarga bapak tidak dapat mewarisi dari anaknya itu,
tetapi dapat pula ayah atau anak memberikan washiah wajibah atau menghibahkan
harta mereka satu sama lain atas dasar kemanusiaan.
Menurut Ahli Hukum Islam, anak zina hanya dapat mewarisi dari pihak ibu dan
kerabatnya. A. Hasan menegaskan sebagai berikut:
Begitu juga anak hasil zina, yakni anak zina dan
anak yang tidak diakui itu, ahli warisnya hanya ibunya, saudara-saudara seibu
dan anak dari pihak ibu.[9]
Lebih lanjut Hasanain Muh. Makluf sambil mengutip pendapat Az-Zailani
sebagai berikut:
Anak zina dan anak li’an mewarisi dari pihak ibu,
tidak dari yang lainnya, karena nasab dari pihak bapak terputus, maka ia tidak
mewarisi darinya (bapak). Sedang nasab dari pihak ibu tetap, karena itu ia
mewarisi dari ibunya dan saudara perempuan dari ibunya dengan ketentuan faraid,
bukan dengan cara lain. Demikian pula ibu dan saudara perempuan dari ibunya,
mewarisi (dari anak itu) hanya dengan cara faraid.
c. Tidak dapat menjadi wali
bagi anak luar nikah
Mengenai wilayah yang dimaksud dalam akibat hukum ialah wilayah kasah
yaitu perwalian atas orang dalam perkawinan. Jika anak di luar nikah itu
kebetulan wanita, maka apabila ia akan melangsungkan pernikahan, maka ia tidak
berhak untuk dinikahkan dengan laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak
sah atau oleh wali lainnya berdasarkan nasab.
Merupakan wali dalam pernikahan ialah orang-orang yang tergolong asabah
dalam waris, bukan kelompok dzawil arham.
Sayyid Sabiq menjelaskan:[10]
Jumhur ‘Ulama seperti Malik, As-Sauri, Al-Laits
dan Asy-Syafi’i berpendapat, bahwa wali-wali dalam nikah itu ialah mereka yang
tergolong ‘asabah (dalam waris) ..... tidaklah ada hak menjadi wali bagi Paman
dari Ibu, saudara-saudara seibu, anak ibu (saudara seibu) dzawil arham lainnya.
Oleh karena ‘Asabah dalam waris juga berdasarkan nasab, maka seorang wanita
yang dilahirkan di luar nikah dianggap tidak ada nasab dengan pihak laki-laki
yang mencampuri ibunya secara tidak sah. Sebagai akibatnya ia tidak dinikahkan
oleh laki-laki tersebut melainkan dinikahkan oleh hakim. Hal ini sama
kedudukannya dengan orang yang tidak mempunyai wali sama sekali. Sebagaimana
Sabda Nabi SAW:
“Dari ‘Aisyah r.a. ia berkata: Rasulullah SAW,
telah bersabda: setiap wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya
batal. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita itu mahar mitsly
karena dianggap halal menyetubuhinya, sebab jika mereka berselisih maka sultan
adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali”.[11]
V. KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Dalam syari’at Islam, zina
secara mutlak haram hukumnya. Adapun dasar filosofis diharamkannya zina
diantaranya agar terjaga keturunan yang sah serta menutup kemungkinan salah
satu dari pelaku zina untuk melepaskan tanggung jawabnya.
2. Berbeda dengan syari’at
Islam, maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang berlaku di Indonesia, mempunyai konsep zina yang dikhususkan bagi
orang-orang yang sedang dalam ikatan pernikahan. Sedangkan hubungan bebas di
luar nikah yang dilakukan jejaka dan seorang gadis tidak digolongkan zina,
apabila dilakukan atas dasar suka sama suka, bahkan bagi mereka yang bersuami
atau beristri sekalipun, jika tidak diadukan oleh pihak tertentu, maka mereka
lepas dari segala tuntutan. Akibatnya timbul peluang yang lebih besar bagi
remaja untuk melakukan hubungan bebas di luar nikah.
3. Sebagai akibat lebih lanjut
dari hubungan seks di luar nikah adalah status anak yang dilahirkan. Dalam
syari’at Islam anak hasil zina secara hukum tidak mempunyai hubungan apapun
dengan pihak ayahnya, meskipun ayahnya itu mengakui atau mengesahkan secara
formal. Anak tersebut hanya ada hubungan nasab dengan ibunya. Jadi, kasus
Lindawati diatas, Tona dan Yulianti berhak menjadi ahli waris dari ibunya
Lindawati.
4. Hukum Islam tidak mengenal
Lembaga Pengakuan (erkenning) apalagi pengesahan (wetteging),
seperti yang terdapat dalam KUH Perdata. Karena jika lembaga tersebut
diberlakukan akan mengakibatkan pergeseran nilai moral yang akan membawa kepada
penyimpangan seksual (zina). Namun demikian anak yang dilahirkan tetap dalam
keadaan suci, ia dapat melakukan sesuatu seperti anak lainnya, kecuali hubungan
keturunan dengan ayahnya secara hukum.
Hal ini
bukan berarti Islam tidak manusiawi, karena ayahnya bisa menggunakan lembaga
wasiat dalam masalah kewarisan dan wali hakim dalam masalah pernikahan.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Hassan, al-Faraid, Fa. Pustaka Progressif, Cet. IX, Surabaya, 1979.
Al-Qur’anul
Karim dan Terjemahnya, Mujama’ Khadim al-Haramain asy-Syarifain Al-Malik Fahd
li-Thiba’at Mushaf asy-Syarif. Madinah Munawwarah. KSA.
Al-San’ani,
Subul al-Salam, Juz III, al-Mashad al-Hussainipy, Kairo.
Asnawi,
Moh. (ed), Himpunan Peraturan dan UU RI tentang Perkawinan serta Peraturan
Pelaksanaannya, (Kudus: Menara Kudus, 1975)
Atla,
Khadijah Ahmad Abu, Qubs min at-Tasyri’ fi Fiqhil Kitab, Thab’ah Kulliyah
Dirasat Islamiyyah wal Arabia lil Banat, Jamia Azhar, Kairo.
Bakry,
Hasbullah, Pedoman Islam di Indonesia.
Bahnisi,
Ahmad Fathi, al-Siyasah al-Jinayah fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Cairo,
Darul Ummah, 1965.
Basyir,
Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Cet. VIII, Perpustakaan Fakultas
Hukum UII Yogyakarta, 1996.
Fakhruddin,
Fuad Muhammad, Filsafat dan Hikmat Syari’at Islam, Jilid I, Bulan
Bintang, Jakarta, 1966.
-------,
Masalah Anak dalam Hukum Islam (Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat dan
Anak Zina), Cet. I, CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1985 M/1405 H.
Hosen,
Ibrahim, Fiqh Perbandingan, Jilid I, Yayasan Ihya ‘Ulumuddin, Jakarta,
1971.
Makluf,
Hassanain Muhammad, Al-Muwarits fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Mathba’
al-Madani,1976.
Rusyd,
Ibnu, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz II, Musthafa
al-Babi al-Halabi, Mesir, 1960.
Sabiq,
Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Jilid II, Dar-al-Fikr, Beirut, 1980.
Tadiyuddin,
Imam, Kifayat al-Akhyar, Juz II, Isa al-Babi al-Halabi, tth.
Yanggo,
Chuzaimah T., Hafidz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Cet.
III, PT. Pustaka Firdaus, LSIK Jakarta, 1999.
Zuhdi,
Masjfuk, Masail Fiqiyyah, Cet. II, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1991.
DAFTAR ISI
I.
PENDAHULUAN ......................................................................……...... 1
II.
MASALAH PERGAULAN BEBAS DI LUAR NIKAH ...................…. 3
A.
Zina ............................................................................................…..... 5
B.
Beberapa Akibat Negatif Dari Zina ………………………………… 8
III.
STATUS ANAK DI LUAR NIKAH ....................................................… 9
A.
Pengertian Anak Luar Nikah
.............................................................. 9
B.
Kedudukan Anak Di Luar Nikah ………………………………….... 11
IV.
AKIBAT HUKUM ANAK YANG TIDAK SAH .................................... 13
V.
KESIMPULAN ......................................................................................... 16
[3] Fuad Moh.
Fakhruddin, Filsafat dan Hikmat Syari’at Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1966, hal. 176
[4] Moh. Asnawi (ed), Himpunan Peraturan dan Undang-undang RI
tentang Perkawinan serta Peraturan Pelaksanaannya, (Kudus: Menara Kudus,
1975), hal. 17
[6] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid III,
Dar al-Fikr, Beirut, 1980, hal. 450
[7] Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan, Jilid I,
Yayasan Ihya Ulumuddin, Jakarta, 1971, hal. 67-69.
[8] Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid Juz II, Musthafa Al-Bishri al-Halabi, Mesir, 1960, hal. 358
[9] A. Hassan, Al-Faraid, Fa. Pustaka
Progressif, Cet. IX, Surabaya, 1979, hal. 133
[10] Sayyid Sabiq, Op.Cit., Juz II, hal. 17
[11] Al-San’ani, Subul al-Salam, Juz III,
al-Mashad al-Husainipy, Cairo, hal. 115-116
Posting Komentar