Cani Borobudur, merupakan candi terbesar di dunia bagi umat Budha.
Secara geografis candi ini terletak di kabupaten Magelang, atau lebih tepatnya
dibangun pada sebuah bukit kecil yang bernama gunung Tidar. Candi yang
menyimpan keindahan dari sisi historis, arsitektur dan kemisteriusannya,
ternyata banyak menarik perhatian para wisatawan baik dalam maupun luar negri
berkunjung untuk menikmati seni budaya Borobudur. Tak heran bila UNESCO
mengakui Borobudur sebagai monumen dan kompleks stupa termegah yang ramai
dengan peziarah dari berbagai negara sejak pertengahan abad ke-9.
Sebuah mahakarya arsitektur yang luar biasa ini telah
berdiri jauh sebelum Angkor Wat berdiri di Kamboja dan bangunan katedral yang
agung ada di Eropa, candi ini dibangun pada masa Raja Samaratungga yang menganut
ajaran Budha, raja penguasa kerajaan Majapahid pada masa itu yang mana masih dalam
garis keturunan Wangsa Syailendra. Bangunan ini merupakan sebuah bukti kemajuan
peradaban pada masa itu, dengan kata lain masyarakat pada masa raja
Samaratungga merupakan masyarakat yang maju, dimana budaya, ilmu sosial dan sepiritual
telah maju.
Secara keseluruhan
candi Borobudur memiliki 6 tingkat bawah berbentuk bujur sangkar, 3 tingkat
atasnya berbentuk lingkaran, dan bangunan berbentuk stupa yang menghadap ke
barat sebagai puncak tertingginya. Tiap tingkatannya sendiri melambangkan suatu
tahapan atas kehidupan manusia. Maka semua orang yang ingin mencapai suatu
tingkatan tertentu haruslah melewati tingkatan kehidupan, hal ini sesuai dengan
Mahzab Mahayana. Tidak hanya kemegah dan besarnya bangun, akan tetapi pada
dinding Candi Borobudur dipenuhi pahatan 2672 panel relief yang jika disusun
berjajar akan mencapai panjang 6 km. Dari keseluruhan relief pada candi
Borobudur mencerminkan ajaran dari sang Budha. Sehingga candi borobudur
dijadikan media pembelajaran bagi semua kalangan yang ingin mempelajari lebih
dalam tentang ajaran budha. Hal ini dipuji sebagai ansambel relief Buddha
terbesar dan terlengkap di dunia, tak tertandingi dalam nilai seni. Maka tidaklah
heran, jika banyak umat Buddha berduyun- duyun datang dari India, Kamboja,
Tibet, dan China untuk belajar ajaran Budha dan ingin mendapatkan pencerahan.
A.
Geografis Candi Borodur
Secara geografi lokasi candi Borobudur terletak di pusat
jantung pulau jawa, yaitu diantara bukit Menoreh yang membujur dari arah timur
ke barat, dan diapit oleh gunung- gunung berapi yaitu gunung Merapi dan Merbabu
di sebelah timur, gunung sumbing dan Sinduro pada sebelah baratnya. Letak
Borobudur pada dataran tinggi menyuguhkan pemandangan yang begitu apik nan
indah yang membentang sejauh mata memandang, dan melahirkan suasana alam yang
tenang, aman, dan tentram.
Kawasan Borobudur termasuk dalam wilayah pemerintahan
kabupaten Magelang, karisedenan Kedu, profinsi Jawa Tengah. Jarak tempuh lokasi
Borobudur dari kota Yogyakarta berjarak 41 km ke arah utara, 100 km barat daya
dari kota Semarang, dan 86 km sebelah barat dari kota Surakarta ( R. Soetarno,
1988: 76). Posisi Borobudur berdiri di atas ada dataran tinggi yang terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu
Sungai Progo dan Sungai Elo di sebelah timur, di sebelah utaranya terdapat
bukit kecil yang lebih dikenal dengan sebutan Gunung Tidar. Menurut legenda
Jawa, wilayah Borobudur diyakini sebagai “paku pulau Jawa” kini daerah tersebut
lebih kita kenal sebagai “dataran Kedu” , tempat ini dianggap suci dalam
kepercayaan Jawa dan disanjung sebagai “Taman pulau Jawa” karena keindahan alam
dan kesuburan tanahnya (Soekmono, 1989: 11).
Jika dari komplek Borobudur kita menyebrangi sungai Progo
dan Elo kita akan berjumpa dengan candi Pawon dan Mendut yang sejajar pada satu
garis lurus, yang mana merupakan kesatuan perlambangan tiga serangkai candi
Budha. Dari ketiganya, candi Mendut merupakan candi tertua dengan patung Budha
setinggi tiga meter terpahat di dalamnya sebagai bentuk penghormatan kepada
Sang Guru. Jarak candi Pawon sekitar dua kilometer dari Mendut dengan
menyebrangi sungai Progo dan Elo, candi mungil ini digunakan sebagai
peristirahatan untuk mensucikan diri sebelum menginjak Borobudur (Yazir
Marzuki, 1991: 1).
B.
Sejarah Candi Borobur
a.
Pembangunan Candi Borobudur
Kapan candi Borobudur dibangun? Hingga saat ini belum
diketahui dengan pasti kapan candi ini dibangun, sehingga umur candi Borobudur
hingga sekarang belum bisa ditentukan secara pasti. Tetapi beberapa bukti
dikemukakan oleh para ahli untuk menentukan usia candi ini hingga kita dapat
mengetahui kapan candi ini dibangun. Sebuah prasasti diteliti oleh Prof. Dr.
J.G Casparis, mengungkapakan bahwa isi dari prasasti tersebut menerangkan
silsilah tiga Wangsa Syailendra yang berturut- turut memegang kekuasaan yaitu
raja Indra, putranya Samaratungga, kemudian pemegang tahta selanjutnya oleh
putri Samaratungga yaitu Pramodawardhani. Pada masa raja Samaratungga inilah
dibangun sebuah candi yang bernama “Bhumisam- Bharabudhara” yang ditafsirkan
sebagai “Bukit Peningkatan Kebajikan” setelah melampui sepuluh tingkat
Bodhisattva (Yazir Marzuki, 1991: 6).
Bukti lain yang menentukan umur candi tersebut adalah
penelitian yang dilakukan pada bagian kaki yang tertutup candi Borobudur, hasil
penelitian tersebut menemukan tulisan- tulisan singkat pada bagian kaki candi dengan
berbahasa Sansekerta dan menggunakan huruf Kawi. Dengan membandingkan bentuk
huruf pada Borobudur dengan prasasti- prasasti yang terdapat di Indonesia, para
sarjana berpendapat bahwa candi ini dibangun sekitar tahun 800 M, yaitu masa
raja Wangsa Syailendra yang menganut ajaran Budha Mahayana ( R. Soetarno, 1988:
82).
Sir Thomas Stamford Raffles mengungkap sebuah dokumen tua
yang menunjukkan keberadaan candi ini adalah kitab Nagarakretagama, yang
ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365. Di dalam kitab tersebut ditulis
bahwa candi ini digunakan sebagai tempat meditasi penganut Buddha, dibangun
pada masa raja Samaratungga oleh seorang arsitek bernama Gunadharma (Bedjo,
2006: 6). Berbeda dengan yang dilakukan oleh Bosch, ia lebih condong pada
penelitian bentuk bangunan candinya dengan mengkaji sebuah kitab sastra kuno
India yaitu Silpa-sastra, didalam kitab tersebut dicantumkan akan
pembuatan arca dan bangunan candi di Jawa. Sehingga Bosch mengambil sempel
candi dan mencocokan dengan masa kitab tersebut (Parmono Atmadi, 1979: 15).
b.
Penemuan Kembali dan Upaya Penyelamatan Candi Borobudur
Kurang lebih satu setengah abad lamanya candi ini
berfungsi sebagai pusat ziarah bagi penganut ajaran budha di Jawa, akan tetapi
dengan runtuhnya kerajaan- kerajaan di Jawa Tengah dibarengi perpindahan
kekuasaan politik dan kebudayaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, maka sejak
itulah bangunan- bangunan suci Jawa Tengah termasuk Borobudur diserahkan kepada
nasibnya sendiri.
Memang pada umumnya bangunan suci candi di Indonesia
dianggap tidak berfungsi lagi ketika masyarakat Indonesia mengenal Agama Islam
dan mulai memeluknya, kemungkinan besar bangunan candi ini lebih awal
ditinggalkan pada abad ke-10, yang kemudian terbengkalai tak terurus di alam
terbuka dan pada akhirnya dilupakan akan keberadaannya. Karena sudah lama tak
digunakan, Borobudur tenggelam dalam semak belukar dan sebagian tertimbun oleh
tanah, ditambah lagi dengan iklim Indonesia dan adanya gempa bumi oleh letusan
gunung berapi, sedikit demi sedikit meruntuhkan bangunan suci ini (Dr. Soekmono,
1986: 16).
Baru pada kisaran abad ke-18, menurut cerita Babad
Tanah Jawi, Borobudhur ditemukan kembali oleh pasukan mataram yang sedang
menangkap Mas Dana. Menurut babad tanah Jawa, Mas Dana adalah seorang
pemberontak yang melawan Paku Buwono 1 (raja kerajaan Mataram) pada tahun 1709-
1710, yang kemudian ia ditangkap di desa Borobudur, sebagai tawanan ia di bawa
mengahadap raja untuk menjalani hukuman mati. Babad Mataram memilik
cerita fersi lain, dalam buku tersebut menceritakan seorang pangeran kerajaan
Yogyakarta mengunjungi “satria dalam kurungan”, yaitu arca Budha yang terdapat
dalam setupa candi Borobudhur pada tahun 1757. Suatu petunjuk bahwa bangunan
candi tersebut ternyata tidak lenyap dan hancur seluruhnya (Yazir Marzuki, 1991:
75).
Pada tahun 1884, Borobudur kemabli mendapat sorotan mata
banyak orang, yaitu pada saat Sir Thomas Satmaford Raffles sebagai gubenur
jendral yang memerintah jajahan Inggris di Jawa (1811- 1815) berkunjung ke
Semarang dan mendapat berita bahwa di desa Borobudur ada sebuah bangunan
purbakala yang masih terpendam di dalam tanah. Sang gubenur jendral segera
mengirim perwiranya yang bernama H. C. Cornelius untuk melihatnya. Begitu
Cornelius melihat adanya candi di atas bukit, dengan bantuan penduduk sekitar
ia segera melakukan pembersihan dan penggalian. Pekerjaan ini membutuhkan waktu
yang begitu lama, hingga baru pada tahun 1835 atas usaha residen Kedu yang
dipimpin oleh Hartman, bentuk candi Borobudur terlihat seutuhnya.
Menyikapi hal tersebut, maka pada tahun 1845
didatangkanlah seorang fotografi bernama A. Shaefer untuk mengabadikan relief
candi Borobudur. Hasil gambar Shaefer ternyata memikat daya tarik pemerintah,
sehingga pada tahun 1949 dikirimlah Wilsen, seorang perwira Zeni Angkatan Darat
untuk melakukan pelukisan dan mempelajari berbagai masalah yang terkait dengan Borobudur,
dengan dibantu oleh Schonberg Mulder tugas ini terselesaikan di tahun 1853.
Kemudian berlanjut dengan penelitian Brumund yang selesai pada tahun 1856.
Hasil dari keduanya disatukan oleh Leemans di tahun 1859, timbulnya sebuah
pendapat akan keraguan karya Wilsen membuat Leemans memakan waktu yang lama,
dan baru pada tahun 1873 monografi Leemans terselesai (Dr. Soekmono, 1986: 23).
Di tahun yang
sama, seorang ahli fotografi I. Van Kinsbergen membuat foto- foto Borobudur.
Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, ia melakukan beberapa kegiatan, sehingga
dua ratus relief yang tertimbun pada Borobudur terungkap. Hal yang lebih
menghebohkan lagi yaitu ditemukannya kaki candi yang tersembunyi dan sejumlah
relief didalamnya oleh J. W. Ijzerman pada tahun 1885, sehingga pada tahun 1890
bagian tersembunyi tersebut di buka semuanya untuk diambil foto oleh Cephas
sebagai dokumentasi (Yazir Marzuki, 1991: 76).
Semenjak saat itulah, penelitian- penelitian dan studi
mengenai Borobudur terus dilakukan. Sehingga Borobudur yang dulu tenggelam
dalam kesunyian berubah menjadi pusat studi dan ziarah banyak orang. Sehingga
dilakukan pemugaran pada tahun 1900 yang diketuai oleh Dr. J. L. A.Brandes, dan
di tahun 1965 dipimpin oleh Dr. Soekmono dengan dibantu oleh Prof. Dr. C. Voute
sebagai usaha menjaga Borobudur dari musibah kehancuran.
c.
Nama “Borobudur”
Sebagian besar candi di Indonesia tidak diketahui nama
aslinnya, sehingga pemberian nama candi biasanya disamakan dengan daerah
ditemukannya candi tersebut, mungkin hanya beberapa saja yang memang menyandang
nama aslinya, maka sebaliknya dalam kasus ini nama desa atau tempat
ditemuakannya candi tersebut diberi nama sesuai dengan nama candinya.
Mengenai nama “Borobudur”, menurut Prof. Casparis nama
Borobudur terambil dari sebuah prasasti yang berangka tahun 842 M, prasasti
tersebut menerangkan berdirinya sebuah candi bernama “Bhumisam- Bharabudhara”,
kemungkinan karena penyesuaian pada bahasa Jawa akhirnya berubah menjadi
Borobudur (Yazir Marzuki, 1991: 7). Fersi pendapat Dr. Soekmono, bahwa nama
Borobudur merupakan nama asli dari candi tersebut, hal ini diperkuat dengan
disebutkannya “Bukit Borobudur” dalam kitab Babad Tanah Jawi. Keterangan
serupa yang disampaikan kepada Raffles di tahun 1814 yang menyatakan adanya
penemuan sebuah peninggalan purbakala bernama “Borobudur” di desa Bumisegoro.
Sebuah naskah kuno karangan Mpu Prapanca di tahun 1365 M,
yaitu kitab Negarakertagama mengungkapkan nama “Budur” untuk sebuah
bangunan suci ajaran Budha dari aliran Wajradhara. Tepat di sebalah
timur candi ada sebuah desa yang bernama “Boro”, jika kita gabungkan nama desa
“Boro” dan nama “Budur” dalam kitab Negarakertagama, maka terjadilah
kata “Borobudur” yang mana tidak menutup kemungkinan merupakan nama candi
Borobudur yang kita kenal saat ini.
Hal serupa dilakukan Raffles dalam menafsirkan kata majemuk
“Borobudur”, kata “budur” diterangkan sebagai bentuk lain dari kata “Budha”,
sedangkan kata “Boro” terambil dari bahasa Jawa Kuno “Bhara” yang berarti
“Agung”. Maka kata “Borobudur” diartikan sebagai “Sang Budha yang Agung”,
sehingga nama candi Borobudur diperoleh dari nama sang Budha (Dr. Soekmono,
1986: 40).
Moens mengemukakan pendapatnya berdasarkan atas keadaan di
India Selatan. Di India Selatan ia menemukan istilah “ Bharasiwa” untuk
menyebut para pengikut setia Dewa Siwa. Maka dari itu, menurut Moens istilah
“Bharabudha” merupakan sebuah istilah untuk menyebut para pengikut setia ajaran
Budha. Ia menambahkan, bahwa dalam bahasa Tamil ada kata “ur” yang berarti
“kota”, maka kata “Bharabudha + ur” menjadi kata “Bharabudhaur” yang berarti
“kota para penjunjung tinggi Sang Budha” (Dr. Soekmono, 1986: 42).
Pendapat Moens cukup menarik perhatian, tetapi
kenyataannya perkataan “Bharabudha” merupakan rekontruksi belaka, sehingga
tanggapan dari berbagai ahli sama sekali tidak ada. Menurut penulis, istilah
“Borobudur” yang paling mendekati kebenarannya adalah sebagai mana yang di
ungkapkan oleh Casparis, yang mana ia menemukan sebuah istilah “Bhumisam-
Bharabudhara” pada sebuah prasasti kuno.
C.
Kisah dan Ajaran Sang Budha
a.
Bentuk dan Bangunan Borobudur
Dalam mengamati bangunan candi Borobudur, kita mengenal
teori Muusses yang mengatakan bahwa semua bangunan candi mengharuskan para
pengunjungnya berkeliling. Berkeliling disini memiliki dua metode yaitu Prasawya
dan Pradaksina. Prasawya adalah metode mengelilingi bangunan candi
dengan arah berlawanan dengan arus jam, hal ini menunjukan bahwa bangunan candi
tersebut merupakan pemakaman. Adapun Pradaksina adalah metode mengelilingi
bangunan searah dengan jarum jam, hal ini menunjukan bangunan candi tersebut
merupakan suatu penghormatan kepada Sang Dewa. Upacara Prasawya merupakan
upacara penghormatan kepada leluhur atau nenek moyang yang bertalian dengan
upacara Pitryajna, atau disebut juga sebagai upacara kematian. Sedangkan
upacara Pradaksina merupakan bentuk pemujaan Sang Dewa. Maka pengamatan
Borobudur jelas menggunakan Pradaksina (Parmono Atmadi, 1979: 18).
Bagian kepala dari bangunan candi Borobudur merupakan
bagian yang memberikan sifat utama dari candi Borobudur, bagian tengah atau
bisa disebut dengan badan bangunan, memiliki hunungan yang erat dengan struktur
penyangga bangunan tersebut, sedangkan pada bagian kaki langsung terletak di
tanah yang berfungsi sebagai penyangga bangunan. Seperti layaknya candi budha
yang lain, susunan bangunan candi Borobudur memiliki tiga tingkat yang mana
menggambarkan ajaran Budha dalam membagi alam semesta menjadi tiga unsur, atau
lebih dikenal dengan Dhatu dalam bahasa Sansekerta. Ketiga unsur
tersebut adalah unsur nafsu ( Khamdhatu), unsur wujud (Rupadhatu),
dan unsur tak berwujud (Arupadhatu). Para pendiri Borobudur tidak
malakukan pembatasan yang tajam akan ketiga unsur- unsur tersebut malainkan
meleburnya menjadi suatu kesatuan yang tunggal dan serasi (Yazir Marzuki, 1991:
21).
Bangunan candi ini terdiri dari 55.000 m3 batu
andesit yang tersusun berbentuk stupa, dengan lebar 123 m dan ketinggian
sekarang 31,5 m mengalami penurunan dari tinggi aslinya yaitu 42 m. Di dalamnya
terdapat 504 patung Budha diantaranya 72 didalam stupa berterawang dan 432
dalam relung terbuka di setiap 5 pagar pada 4 lorong. Secara rinci bagian
Bagian Arupadhatu terdapat 72 stupa dan 1 stupa induk besar, kemudian
pada tingkat Rupadhatu terdapat 4 lorong dengan 1300 gambar relief yang
memiliki panjang seluruhnya 2,5 km dengan 1212 panil berukir, pada bagian dasar
atau pada tingkat Kamadhatu terdapat 160 relief yang tertutup 13.000m3
batu.
Seluruh bagian kamadhatu dan Rupadhatu
terdapat relief pada dinding- dindingnya, bentuk hiasan dan gambaran pada
dinding tidak hanya dimaknai sebagai sebuah karya seni, melainkan dimaknai
sebagai sebuah penggambaran kisah dan ajaran Sang Guru kepada pengikut
ajarannya. Lain halnya dengan yang kita jumpai di tingkat Arupadhatu,
pada tingkat yang menggambarkan alam tak berujud ini, kita tidak mendapati relief-
relief melainkan semua dindingnya polos. Pada tingkat ini hanya kita jumpai
patung Sang Budha yang terdapat pada barisan stupa- stupa yang mengelilingi
stupa induk megah mejulang pada bagian tengahnya.
Pembagian menjadi tiga tersebut juga merupakan ajaran
Budha tentang hukum Tilakhana yang mengacu pada tiga corak kehidupan
manusia yang pasti terjadi dan terdapat pada segala kondisi. Tiga corak
tersebut adalah pertama Sabba Sankhara Anicca yaitu segala sesuatu di
alam ini merupakan perpaduan dari berbagai unsur, dan kesemuanya itu tidaklah
kekal, kedua adalah Sabbe Sankhara
Dukkha yaitu rasa ketidak puasan pada sesuatu yang tidak kekal merupakan
sumber penderitaan, adapun yang terakir adalah Sabbe Dharma Anatta yaitu
pengertian bahwa tidak ada yang disebut “aku”, “jiwa”, ataupun “roh”,
kesemuanya itu pada dasarnya adalah tidak ada, karena kesemuanya itu hanyalah
pandangan egoisme terhadap diri (Upa Sasanasena Seng Hansen, 2008: 11).
Mengapa berbentuk stupa?, jika kita pergi ke India maka
kita akan mendapati bahwa bentuk bangunan yang berhubungan dengan nama Budha
disebut Stupa. Jadi Stupa merupakan bentuk kubah pada suatu
bangunan yang terdiri atas sebuah lapik dan diberi payung diatasnya. Arti
daripada stupa ( R. Soetarno, 1988: 80) tersebut adalah:
a)
Sebagai sebuah tempat penyimpanan reliek peninggalan suci: benda,
pakaian, tulang san Budha, Arhat dan Bhikkhu yang terkemuka.
b)
Sebagai sebuah tanda penghormatan kepada sang Budha.
c)
Sebagai suatu perlambangan yang suci ajaran Budha.
b.
Relief- Kisah dan Ajaran Budha
Terdapatnya relief pada dinding candi Borobudur yang
menggambarkan kisah dan ajaran Budha, menandakan bahwa Borobudur tidak hanya
sebagai tempat berziarah, melainkan sebagai tempat belajar tentang kehidupan
yang disampaikan oleh Sang Budha. Sebagai mana yang terdapat pada dinding candi
bagian Kamadhatu , pada bagian ini terdapat relief yang menggambarkan
adegan- adegan yang terdapat pada kitab ajaran Budha Maha-Karmawibhangga, Naskah
tersebut mengutarakan bagaiman Budha mengajarkan perihal karma atau
hukum sebab dan akibat dari perbuatan baik dan Jahat. Dan pada tingkat Rupadhatu
menceritakan riwayat hidup Sang Budha, cerita Jataka atau kehidupan Sang
Budha sebelum menjadi Budha, dan cerita pengembaraan Sudhanakumara yang
tanpa lelah bertekat untuk mendapatkan “Hakikat yang Mutlak” (Dr. Soekmono,
1986: 53).
Untuk memperjelas mengenai susunan dan pembagian relief
candi Borobudur, perlu kirannya kita tampilkan dalam bagan berikut ini:
Kaki candi
|
Karmawibhangga
|
160 Pigura
|
|
Tingkat I
|
Dinding: a
|
Lalitawistara
|
120 Pigura
|
b
|
Jataka/ Awadana
|
120 Pigura
|
|
Langkan:a
|
Jataka/ Awadana
|
372 Pigura
|
|
b
|
Jataka/ Awadana
|
128 Pigura
|
|
Tingkat II
|
Dinding
|
Gandawyuha
|
128 Pigura
|
Langkan
|
Jataka/ Awadana
|
100 Pigura
|
|
Tingkat III
|
Dinding
|
Gandawyuha
|
88 Pigura
|
Langkan
|
Gandawyuha
|
88 Pigura
|
|
Tingkat IV
|
Dinding
|
Gandawyuha
|
84 Pigura
|
Langkan
|
Gandawyuha
|
72 Pigura
|
|
Jumlah
|
1460 Pigura
|
a)
Karmawibhangga
Hukum karma merupakan hukum sebab akibat. Karma berarti
kehendak yang meliputi keserakahan, kebencian dan kebodohan yang terwujud dalam
sebuah tindakan. Penjelasan mengenai karma terdapat pula pada kitab Anguttara
Nikaya, dalam kitab tersebut Budha Gautama bersabda:
“ O Bhikkhu, kehendak (diliputi oleh keserakahan, kebencian dan
kebodohan batin) untuk berbuat itulah yang ku namakan karma. Sesudah
berkehendak seseorang akan berbuat dengan badan jasmani, perkataan, atau
pikiran.”
Dan didalam kitab Samyutta Nikaya juga dijelaskan mengenai
konsep karma, sebagai mana yang tertulis berikut ini:
“ Sesuai dengan binih yang ditabur, begitulah buah yang akan
dipetiknya. Perbuatan kebaikan akan mendapat kebaikan, pembuat kejahatan akan
memetik kejahatan pula. Binih apapun yang engkau tabur, engkau pulalah yang
akan merasakan buah dari padanya. ” (Upa Sasanasena Seng Hansen, 2008: 14)
Konsep karma disini tidak sama jika dimaknai dengan
sebuah takdir. Banyak orang beranggapan bahwa karma itu adalah takdir, hal ini
tercermin pada saat orang mengalami sebuah masa kesulitan dan ia menjadi
mlarat, maka akan dikatan “itu sudah menjadi karmanya yang sedang berubah”. Ini
merupakan sebuah kesalahan, karena pada dasarnya sifat dan cara kerja dari
karma (ajaran Budha) sangat berbeda dengan konsep takdir. Karma tidak berjalan
secara linier, dalam artian momen saat ini dibentuk oleh masa lampau dan masa
saat ini, dan tindakan masa ini membentuk masa kini dan masa yang akan datang.
Maka bagi seorang yang telah terbebas, segala perbuatannya tidak lagi dilandasi
oleh kehendak, maka ini tidak dapat disebut karma. Karena telah memutus karma,
berarti tidak ada lagi kelahiran kembali di alam penderitaan, yang demikian
inilah disebut sebagai pencapaian Nibbana.
Dalam ajaran Budha disebutkan bahwa Karma merupakan
salah satu penyebab kematian seseorang. Dalam ajarannya, Budha menerangkan ada
empat unsur penyebab kematian seseorang yaitu Ayukkhaya (habisnya masa
hidup), Kammakkhaya (habisnya tenaga karma), Ubhayakkhaya
(habisnya usia sekaligus akibat perbuatan), Upacchedaka (kecelakaan,
bencana atau malapetaka). Ke-empat unsur tersebut digambarkan sebagai sebuah
lentera yang padam akibat habisnya sumbu, habisnya bahan bakar (minyak),
habisnya sumbu serta bahan bakar, dan karena angin (M. O’C. Walshe dan Willy
Liu, 2010: 52).
Dalam relief kaki candi Borobudur, bentuk karma dari
perbuatan manusia diperlihatkan dalam 117 pigura, sedangkan selebihnya
menjelaskan berbagai macam keadaan manusia sebagai akibat dari satu jenis
perbuatan. Relief- relief ini memperlihatkan berbagai perbuatan manusia, baik
yang sifatnya tercela sepertihalnya mulut usil, sampai pada aksi pembunuan, dan
juga perbuatan luhur manusia seperti kemurahan hati, ziarah ketempat suci.
Semua ini sebagai pengingat manusia untuk menjalani hidup terlepas dari samsara
atau lingkaran lahir- hidup- mati yang terus berulang karena karma (Dr.
Soekmono, 1986: 54).
b)
Lalitawistara
Pada relief ini menggambarkan kisah Sang Budha Gautama.
Sang Budha dilahirkan pada tahun 623 SM di taman Lumbini (kaki gunung Himalaya)
sebagai anak dari raja Suddhodana dari Suku Sakya, ibunya bernama Maha
Maya Dewi. Tujuh hari setelah melahirkan Gautama, ibunnya meninggal,
sehingga ia di asuh oleh Maha Prajapati Gautami. Raja Suddhodana sangat
bergembira akan kelahiran Gautama, hingga ia memanggil para pertapa untuk
meramalkan nasib sang bayi. Pertapa Kondanna meramalkan bahwa Sang Pangeran
kelak akan menjadi Buddha. Mendengar ramalan tersebut Sang Raja cemas, karena
apabila Sang Pangeran menjadi Buddha, maka tidak ada yang akan mewarisi tahta
kerajaannya. Menyikapi hal tersebut Raja membuatkan istanah untuk tempat
tinggal pangeran, yang mana lengkap dengan semua hal kebutuhan pangeran, dan
dijauhkan dari unsur- unsur buruk di dunia ini (Yazir Marzuki, 1991: 9).
Setelah beranjak dewasa, yaitu saat usianya mencapai 16
tahun Siddharta Gautama menikah dengan putri Yasodhara dan memiliki putra
bernama Rahula. Usaha sang Raja dengan mengatur hidup pengeran yang serba
kecukupan tidak bisa mengubah takdi sang Pangeran untuk menjadi Bodhisattwa.
Dalam sebuah acara kerajaan Siddharta ikut serta melakukan perjalanan
mengelilingi kota, hingga pada akhirnya ia berjumpa dengan empat pertemuan
penting, yaitu 1. Orang yang sudah lanjut usia, 2. Orang yang sedang sakit,3.
Orang sudah meninggal dunia, 4. Seorang pertapa (Pandita S. Widyadharma: 1-2).
Setelah melihat kejadian- kejadian tersebut, Sang Budha
memikirkan bagaiman caranya bisa terhindar dari bentuk- bentuk penderitaan
tersebut. Maka di usianya yang ke- 29 tahun, Siddharta meninggalkan istana,
keluarga, kemewahan, untuk pergi berguru mencari ilmu sejati yang dapat
membebaskan manusia dari lanjut usia, kondisi sakit dan kematian. Hingga
akhirnya ia bertemu dengan pertapa Alara Kalama kemudian berguru kepadanya,
karena tidak puas ia berguru kembali dengan Uddaka Ramaputra. Karena dirasa
masih kurang dan tidak memperoleh apa yang diharapkannya, Siddharta pergi
meninggalkan ajaran falsafah para Brahmana. Ia lebih memilih untuk bertapa dan
bermeditasi dibawah pohon Bodhi untuk mendapatkan Penerangan Agung.
Dalam usia 35 tahun pertapa Siddharta memperoleh
Penerangan Agung, menjadi Buddha di bawah pohon Bodhi di hutan Uruvela (kini
tempat tersebut disebut Buddha Gaya). Untuk pertama kalinya Beliau mengajarkan
Dhamma yang maha sempurna kepada lima orang pertapa kawan Beliau di Taman Rusa
Isipatana di dekat Benares. Adapun kelima orang pertapa itu adalah Kondanna,
Bodhiya, Vappa, Mahanama dan Assaji. Setelah mendengarkan khotbah Sang Buddha,
Kondanna, segera menjadi Sotapanna dan kemudian menjadi Arahat. Yang lainnya
pun menyusul menjadi Arahat. Khotbah pertama ini kemudian dikenal sebagai
Khotbah Pemutaran Roda Dhamma (Dhamma Cakka Pavattana Sutta). Selanjutnya Sang
Buddha sangat giat mengajarkan Dhamma kepada para siswaNya sampai Beliau
mangkat di Kusinara dalam usia 80 tahun (Dr. Soekmono, 1986: 64- 67).
Selama empat puluh lima tahun, hidup Sang Budha dihabiskan
untuk menyebarkan ajarannya yang berasas kepada Empat Kebajikan Kebenaran (The
Four Noble Truth) yaitu Dukkha, Samudaya, Nirvana, dan Marga.
Untuk mencapai kesempurnaan Hakikat yang Mutlak, ajaran Budha memilik delapan
pegangan utama, yaitu:
1.
Kepercayaan yang benar (Samma ditthi).
2.
Tujuan atau cita-cita yang betul (Samma sankappa).
3.
Pertuturan yang baik (Samma vaca).
4.
Perbuatan yang benar (Samma kammanta).
5.
Hidup yang betul (Samma ajiva).
6.
Usaha yang benar (Samma vayama).
7.
Fikiran yang betul (Samma sati).
8.
Renungan yang baik (Samma samadhi) (Mohd Ridhuan Tee
Abdullah, 2009: 5- 6).
c)
Jataka dan Awadana
Dalam bagian ini menceritakan tentang Sang Budha, yaitu
sebelum Siddharta dilahirkan. Pokok- pokok yang tertera dalam relief ini adalah
penonjolan perbuatan baik yang mana membedakan Sang Bodhisattwa dengan makluk
lain. Didalam relief dijelaskan bahwa untuk menjadi Budha manusia harus
berusaha dengan keras, dan meninggalkan segala perbuatan yang dapat menimbulkan
karma terlahir kembali.
Relief ini berisi cerita Sang Budha, tetapi bukan kisah
Sang Budha Gautama, akan tetapi kisah lain yang dihimpun dalam kitab Diwyawadana
(Perbuatan- perbuatan mulia dewa) dan kitab Awadanasataka (seratus
cerita Awadana). Cerita Diwyawadana terdapat pada lorong tingkat pertama, yang
diawali dengan kisah Sudhanakumarawadana (perbuatan mulia Pangeran
Sudhana) yang terpahad pada 20 bidang relief candi. Kisah sang Sudhanakumara
sebagai seorang pangeran yang teguh dan sabar dalam menempuh lika- liku
kehidupan, hingga ia menjadi seorang raja yang memerintah kerajaannya denga
arif dan bijak sana serta memiliki istri cantik berwujud setengah burung dan
setengah manusia (Kinnara) yang bernama Manohara.
Satu deret yang sama menggambarkan kisah Rudrayana,
seorang raja yang meninggalkan kehidupan duniawiyannya setelah menerima lukisan
sang Budha, ia lebih memilih menjadi bikkhu Budha dan berusaha untuk bisa
menggapai nirvana. Kisah- kisah lainnya lebih banyak menggambarkan akan
kearifan, bijaksana, tujuan hidup, dharma, pikiran dan kesadaran yang dapat
merubah manusia menjadi seorang Budha (Dr. Soekmono, 1986: 70- 74).
d)
Gandawyuha
Pada bagian ini menggambarkan cerita Sudhana yang
berkenalan mencari pengetahuan tertinggi dengan tanpa mengenal lelah, setelah
menempuh panjangnya perjalanan dan banyaknya rahib yang dimintai untuk
mengajari tentang kehidupan, hingga dengan sampainya sundhana ditempat
bersemayamnya Bodhisattwa Samantabhadra. Selainnya menggambarkan wejangan-
wejangan Samantabhadra dan mukjizat- mukjizat ajaib para Budha dan Bodhisattwa,
dan tercapainya pengetahuan tertinggi tentang kebenaran sejati oleh Sundhana.
Secara jelas pada relief ini menerangkan akan pencapaian
kebenaran sejati dalam kehidupan. Hidup benar dalam ajaran Budha adalah tercapainya suatu kebahagiaan sejati, yaitu
suatu keadaan yang terbebas sepenuhnya dari penderitaan (Dukha). Adapun bagaimana
cara mencapainya yaitu dengan membasmi kekotoran mental manusia. Kekotoran
mental manusia dapat dibasmi oleh kekuatan kebijaksanaan (Panna). Ada 3
jenis kebijaksanaan:
1.
Kebijaksanaan yang diperoleh dari mendengar dan belajar Dhamma (Suta
Maya Panna).
2.
Kebijaksanaan yang diperoleh dari pemikiran analitis atau
penyelidikan (Cinta Maya Panna).
3.
Kebijaksanaan yang diperoleh dari pengembangan mental atau meditasi
(Buntario Tigri, S.H: 15-16).
c.
Makna Arca dan Simbol Ajaran Budha
Arca Budha candi Borobudur mudah sekali dikenal, karena
memiliki beberapa ciri khas tersendiri. Arca candi Borobudur selalu digambarkan
berwujud manusia dengan anggota banyak dan selalu memakai jubah rahib dengan
ciri bahu kanannya terbuka pada sikap duduk, terdapat gelungan rambut diatas
kepalanya, rambut keriting melingkar kekanan, dan terdapat tonjolan diantara
kedua alis. Arca- arca tersebut memiliki sikap tangan yang berbeda- beda, sikap
tangan Budha atau yang disebut sebagai Mudra, memiliki arti pelambangan khas.
Dalam relung yang terdapat pada Borobudur terdapat patung-
patung Budha tertentu, pada sisi sebalah timur terdapat Aksobhya dengan
Bhumispar Camudra (bumi dipanggil menjadi saksi), di sebelah selatannya
bersemayam Ratna Sembhawa dengan Waramudra (memberi anugrah atau berkah), pada
sisi sebelah barat kita menjumpai Amithba dengan Dhyanamudra (mengheninkan
cipta/ semedi), dan yang terahir di sisi sebelah utara terdapat Amogasiddha
dengan Abdhayamudra (tidak takut bahaya). Ditambah lagi dengan patung yang menghadap
kesegala arah yang menggambarkan puncak dengan sikap tangan Budha
mengisyaratkan penalaran atau Witarkamudra, kemudian ada Dhayani Budha yang
tersembunyi dalam setupa- stupa yaitu Wajrasatwa dengan Dharmacakramudra suatu
gambaran perputaran roda hukum atau Darma dan(Yazir Marzuki, 1991: 63-
68).
Dengan demikian, sikap tangan pada patung- patung candi
Borobudur terdapat enam macam. Tetapi patung Budha yang menghadap ke segala
arah pada rupadhatu dan arupadhatu dianggap sama sehingga jumlah macam mudra
yang pokok ada 5 buah, hal ini sesuai dengan jumlah 5 mata angin pokok yaitu
timur, barat, selatan, utara, dan pusat. Perbedaan sikap Budha terdapat pada
sikap tangannya (Dr. Soekmono, 1986: 83):
1)
Bhumisparsamudra,menggamabarkan
sikap tangan menyentuh tanah, tangan kiri terbuka menemhadah pangkuan,
sedangkan tangan kanan menempel pada lutut kanan dengan jari- jarinya menunjuk
kebawah. Sikap ini melambangkan kesaksian Budha.
2)
Abhayamudra,menggambarkan
sikap tangan menenangkan dan mengisyaratkan ketidak gentaran dan tidak khawatir
dengan sikap tangan kiri terbuka dan menengadah di pangkuan, disertai tangan
kanan di angkat sedikit di atas lutut dan mengahadap kemuka.
3)
Dhayanamudra, penggambaran
sikap semadi. Kedua telapak tangan diletakkan di pangkuan dengan posisi agak
terangkat sedikit di atas lutut dan menghadap kemuka.
4)
Waramudra, sikap
yang melambangkan kedermawaan. Sikap ini sepert Bhumisparcamudra tetapi tangan
kanan menghadap keatas.
5)
Dhamacakramudra, perlambangan
Dharma. Sikap dengan kedua tangannya diangkat hingga di dada, dengan posisi
tangan kiri di bawah tangan kanan dan menghadap keatas, jari manis tangan kiri
menyentuh ibu jarinya disertai tangan kanan menghadap kebawah menyentuh
kelingkin tangan kiri .
6)
Witarkamudra,
sebagai perlambangan sikap akal budi. Sikap tangan kiri diangkat keatas sedikit
diatas lutut dan menghadap keatas, dan tangan kanan seperti Abhayamudra dengan
jari telunjuk menyentuh ibu jarinya (Yazir Marzuki, 1991: 70).
Sikap budha yang terukir dalam arca- arca ini,
mengingatkan manusia untuk slalu teguh mengikuti ajaran- ajaran Budha. Seperti
halnya arca Dhyanamudra merupakan bentuk ajaran Meditasi dalam ajaran
Budha. Ada dua jenis meditasi, pertama samatha bhavana,meditasi dengan
mengamati pada satu objek. Kedua vipassana bhavana, meditasi dengan
mengamati beberapa objek (Upa Sasanasena
Seng Hansen, 2008: 34). Meditasi merupakan suatu bentuk latihan
spiritual bagi Budha untuk memutus seuatu penderitaan. Tujuan dari meditasi
untuk melihat esensi diri dan sampai pada akirnya timbunya kesadaran bahwa
segala sesuatu tidaklah kekal, sehingga hal ini membantu pengembangan pandang
benar.
Archa
Waramudra juga merupakan sikap darma dan welas asih, merupakan lambang tantang
moralitas. Dalam ajaran Budha mengenal istilah Lokapaladhamma, yaitu hiri
merupakan perasaan malu untuk melakukan hal- hal yang tidak baik, dan ottappa
merupakan perasaan takut untuk tidak menerima akibat dari perbuatan yang tidak
baik tersebut. Dasar pembentukan latian moralitas ini terdiri atas 5 aturan
yaitu:
1.
Bertekat menghindari menyakiti makluk hidup.
2.
Bertekad menghindari pengembalian barang yang tidak diberikan.
3.
Bertekad menghindari perbuatan asusila
4.
Bertekan menghindari ucapan tidak benar
5.
Bertekan menghindari makan atau minum yang dapat menyebabkan
lemahnya kesadaran dan menimbulkan ketagihan.
D.
Penutup
Candi Borobudur pada saat ini telah menjadi obyek wisata
yang menarik banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Selain itu, Candi
Borobudur telah menjadi tempat suci bagi penganut Budha di Indonesia, bahkan
banyak para penganut ajaran Budha mancanegara yang berziarah serta melakukan
latian sepiritual di Borobudur. Selain sebagai tempat wisata dan beribadah,
Borobudur juga sebagai tempat belajar akan ajaran- ajaran Budha dan tempat
beberapa ilmuan melakukan penelitian terhadap bangunan purbakala ini.
Borobudur menjadi salah satu bukti kehebatan dan
kecerdasan manusia yang pernah dibuat di Indonesia, mencerminkan majunya
peradaban pada saat itu, dan luhurnya masyarakat dalam menjunjung tinggi
ajaran- ajaran sepiritual. Kisah- kisah sang Budha terpahad pada dinding-
dinding candi tersebut sebagai bahan ajar para pengikutnya untuk mencapai
nirvana. Cerita- cerita dalam relief yang diambil dari beberapa kitab- kitab
luhur menjadikan Borobur memilik khas sepiritual yang mendalam.
Bagi bangsa Indonesia candi Borobudur adalah suatu bukti
yang nyata tentang kebenaran di masa yang lalu, dan sekaligus merupakan pelita
hati yang membimbing pemupukan kepercayaan pada diri sendiri demi tercapainya
cita- cita nasional. Maka setelah peperangan kemerdekaan candi ini tidak luput
dari perhatian pemerintah, beberapa ahli purbakala di hadirkan untuk melakukan
studi di Borobur, dan tidak lama dari itu agenda besar mengenai pemugaran candi
dilakukan untuk menghindari candi dari malapetaka kehancuran.
Saat ini Borobudur terus mendapat perhatian banyak orang,
dan ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia yang membanggakan, terutama
bagi kalangan pemeluk ajaran Budha, Borobudur memiliki arti yang lebih dari
sekedar sebuah candi, melainkan tempat yang suci dan tempat melakukan kegiatan-
kegiatan luhur untuk menggapai tujuan hidup menurut ajaran Sang Budha. Banyak
kalangan Bikkhu manca negara berdatangan ke Borobudur guna keinggin mereka
untuk mendapatkan suatu pencerahan dalam hidup hingga mereka bisa menjadi nirvana.
E.
Daftar Pustaka
Atmadi,
Parmono, 1979. Beberapa Patokan Perancanaan Bangunan Candi, Yogyakarta:
Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (Desertasi).
Bhikkhu Bodhi,
2010. Jalan Menuju Akhir dari Penderitaan (the Noble Eightfold Path: the
Way to the End of Suffering), Jakarta: Vijjakumara.
Bedjo, 2006. Penderitaan
Menurut Agama Budha, Jurnal Teologi dan Pelayanan edisi 7.
Buntario Tigri,
S.H, 1 Menit yang Mengubah Hidup Anda, Yayasan Dhammadasa, Email :
dhammadasaindonesia@yahoo.co.id.
Dr. Soekmono,
1986. Candi Borobudur, A Monument of Mankind, Jakarta: PT Dunia Pustaka
Jaya.
Drs. R.
Soetarno, 1988. Aneka Candi Kuno di Indonesia, Semarang: Dahara Prize.
Hansen, Upa
Sasanasena Seng, 2008. Basic Buddhism: What Should We Know About Buddhism,
Yogyakarta: Vidyasena Production.
M. O’C. Walshe
dan Willy Liu, 2010. Ajaran Budha dan Kematian, Yogyakarta: Vidyāsenā
Production.
Marzuki, Yazir
dan Toeti Heraty, 1991. Borobudur, Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
Mohd Ridhuan
Tee Abdullah, 2009. Asas- Asas Ajaran Budha Sebagai Perbandingan Agama,
Selangor: Persatuan Ulama’ Malaysia Cawangan Selangor (PUMCS) (Seminar)
Pandita S.
Widyadharma, Inti Sari Agama Budha, Website Buddhis Samaggi Phala, http://www.samaggi-phala.or.id
Wirjosuparto,
Drs. Sutjipto, 1956. Sedjarah Seni Artja India, Jakarta: Kalimosodo.
Posting Komentar