1.
ASAL
MULA DAN PERKEMBANGAN
John Dewey (1859-1952) termasuk
tokoh pertama yang memandang begitu esensialnya hubungan antara lembaga
pendidikan dan masyarakat. Menurut pengamatannya, terlihat nyata adanya
perubahan struktur masyarakat dari bentuk semulanya yang masih bersahaja. Dalam
arus perubahan yang begitu rupa tersebut, John Dewey melihat betapa kecil, dan
bahkan tiada sama sekali “peranan penyiapan” anak didik yang dilakukan oleh
lembaga-lembaga pendidikan supaya mereka (anak didik) bisa menyadari
“masyarakat baru” yang sedang bertumbuh di sekitarnya.
Dewey melukiskan kehidupan anak-anak
kota yang tampak “acuh” dan “buta” terhadap produk-produk yang nota bene
dimanfaatkannya sehari-hari, seperti pakaian, gas, dan sebagainya. Dengan
demikian, mereka sesungguhnya tidak lagi akrab dan menghayati konteks kehidupan
sosialnya yang sudah semakin kompleks tersebut. Hal yang demikian itu, menurut
Dewey, seharusnya dijembatani oleh lembaga pendidikan.
Dewey bermaksud untuk
memperbaikinya, yaitu melalui sekolah percobaannya di Chicago. Melalui sekolah
tersebut, Dewey berupaya mengembangkan pengalaman belajar di kelas dan di
sekolah sebagai suatu bentuk kehidupan yang bisa menumbuhkan semangat sosial.
Baik dengan lingkungan “rumah” anak-anak maupun dengan lingkungan masyarakat
sekitar pada umumnya. Bagi Jhon Dewey, persekolahan sesungguhnya merupakan
“rumah” kedua bagi anak-anak, dan secara esensial mustilah tercermin sebagai
“rumah yang baik”, dimana secara riil menampakkan semangat, minat, dan
cita-cita masyarakat bersangkutan. Dewey melihst persekolahan sebagai miniatur
masyarakat, suatu masyarakat mikro yang :
a.
Merupakan
cerminan masyarakat sekitarnya dan
b.
Merupakan
“pengilham” perbaikan bagi masyarakat sekitarnya.
Sehubungan dengan itu, sebagaimana
halnya Dewey dengan pengembangan teori-teori pendidikan yang memandang penting
dan berupaya “menghadirkan” rumah serta lingkungan sekitar di dalam proses
pendidikan.
Sebagaimana halnya Dewey dengan
pengambangan teori-teori pendidikannya, hal serupa juga dilakukan Emile
Durkhein (1858-1917), yaitu dikala ia memegang direktur Ilmu Pendidikan di
Sorbon, Paris (yang kemudian menjadi direktur Ilmu Pendidkan dan Sosiologi pada
tahun 1913). Pendidikan sebagai suatu “Social Thing.” Dia menyatakan bahwa:
Masyarakat
secara keseluruhan beserta masing-masing lingkungan sosial di dalamnya,
merupakan sumber penentu cita-cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu
masyarakat bisa bertahan hidup, hanya kalau terdapat suatu tingkat homogenitas
yang memadai dikalangan para warganya. Keseragaman yang esensial yang dituntut
dalam kehidupan bersama tersebut, oleh upaya pendidikan di perkekal dan
diperkuat penanamannya semenjak dini di kalangan anak-anak. Tetapi dibalik itu,
suatu kerjasama apa pun tentulah tidak mungkin tanpa adanya keaneka ragaman.
Keaneka ragaman yang penting itu, oleh upaya pendidikan dijaminnya dengan jalan
pengadaan pendidikan yang beranekaragam. Baik jenjang maupun spesialisnya.
Bertolak dari pandangannya tentang
pendidikan sebagai ikhtia sosial (social thing), akhirnya menuntun Durkhelim
pada suatu pendapat, bahwa pendidkan itu, bukanlah hanya satu bentuk, baik
dalam artian ideal maupun aktualnya, tetapi bermacam-macam. Seberapa banyaknya
bentuk dimaksud, sebenrnya mengikuti banyaknya perbedaan lingkungan di
masyarakat itu sendiri.
Bagi Durkheim, pendidikan meurapakan
alat untuk mengembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial (the
individual self, and the social self, the I and the We. or the homoduplex)
menjadi suatu paduan yang stabil. Disiplin, dan utuh secara bermakna. Dengan
demikian, penyelaman dan pencernaan nilai-nilai dan displin, oleh Durkheim
dianggap sebagai isyarat inisiasi anak-anak terhadap masyarakatnya. Sangat
vital untuk memahami dan menganalisa masyarakat itu sendiri secara metodis dan
ilmiah. Pada waktu ia menyampaikan kuliah pengukuhannya di Sorbonne (1920),
secara tegas Durkheim menyatakan bahwa suatu keharusan, dunia pendidikan itu
melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian seirama denganarus
deras transformasi yang berlangsung dalam perkembangan masyarakat modern.
Beliau berkesimpulan, bahwa tidak ada yang melebihi pentingnya pendeketan
sosiologis bagi para guru.
Selama 40 tahun perkembangan
sosiologi pendidikan (pada mulanya dinamakan “educational sosiology” dan
belakangan ini menjadi “Sociology of Education”) berjalan lamban, tetapi
berlangsung kokoh dan pasti. Khususnya di Inggris, perkembangan nyata Sosiologis
Pendidikan ditandai dan dimulai dengan diangkatnya Sir fred Clarke sebagai
Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London (London University Institute
Of Education) pada tahun1937. Clarke begitu yakin, bahwa pendidikan haruslah
direncanakan, dan pada bukunya yang berjudul “Education and Social Change”
1940, secara tandas ia menyatakan : Titik pijak sosiologis supaya diterima
tanpa reserve dan supaya secara nyata mengaplikasikannya dalam dunia
pendidikan.
Tak semua ahli pendidikan (di
Inggris) menyokong apa yang dinyatakan Clarke tadi. Tetapi di belakang Clarke
terdapat seorang tokoh berpengaruh, yaitu Karl Mannheim (1893-1947), seorang
pengungsi dari keganasan” Nazi Jerman. Ia menjadi dosen sosiologi pada Fakultas
Ekonomi London (London School of Economics).
Mannheim benar-benar yakin, bahwa
kita tidak dapat mendidik pada suatu kevakuman, dan untuk itu, kita perlu
sekali mendiagnosis corak masyarakat di mana kita hidup. Melalui analisis
semacam itu, penyakit-penyakitnya dapat diklasifikasika, dan dari situlah kita
bisa merencanakan suatu program pendidikan kearah suatu masyarakat baru yang lebih baik. Pada bukunya
yang berjudul “Diagnosis of Our Time” terbitan pertamanya tahun 1943, Mainnheim
berusaha menampilkan kemungkinan “jalan ketiga” yang berada di antara dua buah
ekstrim, yaitu ekstrim laissez-faire disatu pihak dengan ekstrim totaliter
dipihak lainnya. Jalan ketiga yang dimaksudkannya itu ialah jalan demokrasi.
Sebab demokrasi hanya bisa berfungsi kalau ada cukup kuat disiplin pribadi
kedemokratisan yang membuat manusia sepakat pada masalah-masalah nyata bagi
kepentingan umum, walau demikian mungkin saja mereka tak sependapat terhadap
hal-hal detailnya.
Mannheim sangat yakin, bahwa suatu
masyarakat demokratis yang menginvestasikan banyak energi dan waktu untuk
mengurangi kebencian ras dan kelompok (sebanyak energi dan waktu yang digunakan
masyarakat totaliter untuk memelihara kebencian ras dan kelompok).
Menurut penglihatan Mannheim, dengan
menggunakan pendeketan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan
pendidikan, dengan “jalan ketiga”nya Mannheim merupakan suatu jalan pemikiran
yang bisa menuntun arah perencanaan di dalam upaya memelihara pandangan hidup
yang merdeka dan demokratis. Bagi Mannheim, perencanaan dilihat, diterima, dan
diaplikasikan menurut apa adanya kenyataan yang menentukan keadaan masyarakat.
Tetapi katanya, perencanaan itu haruslah menyeluruh (total), dan lagi bukanlah
pelanggeng “ketotaliteran.”
Mannheim sesungguhnya termasuk
berjasa membantu dan membimbing berdasarkan basis sosiologis mengenai bagaimana
merencanakan kehidupan rakyat/masyarakat dengan begitu, ikut membantu hasil
analisis psikologi perseorangan maupun sosial. Pendidikan Sosial, menurut
Mannheim dikembangkan dengan merencanakan penggunaan berbagai ragam kekuatan
dan institusi sosial untuk menumbuhkan kepribadian yang demokratis. Sebagai
suatu disiplin ilmu, kata Mannheim, sosiologi mengajar kita bagaimana
memahaminya, dan bagaimana bisa kesana; kita diajar untuk tidak sekedar
memanfaatkan pengaruh sosial tertentu saja, tetapi lebih memandang lingkungan
sosial sebagai suatu perangkat pola-pola yang perlu dieksporasi dan kemudian
memanfaatkan untuk kepentingan proses pendidikan.
Kebutuhan utama masyarakat kita
sekarang terletak pada adanya konsensus dan integrasi, maka tugas pokok usaha
pendidikan haruslah untuk mencapai hal tersebut, dan karenanya, pendidikan itu
mustilah pendidikan sosial. Menurut penglihatan Mannheim, pendidikan sebagai
suatu bagian dari totalitas proses sadar yang dengan cepat mengganti tekni-teknik
yang tak di sadari.
Komitmen Mannheim terhadap
pendekatan sosiologis, bukan berarti “buta” dengan aspek-aspek penting lainnya
dari pendidikan. Pendidikan untuk integrasi sosial. Manusia sebagai hewan
sosial dan hewan politik, ia sadar akan diri sendiri yang terjadi dalam “dunia
vakum”, ia sadar akan dirinya di dalam dan melalui orang lain. Tidak ada suatu
diri sendiri yang terisolasi, dan sebagaimana dikatakan oleh John Macmurray,
selamanya “persons in relation”’ Dan konsep tersebut, jelas-jelas mencerminkan
adanya pendekatan interdispliner.
Pendidikan merupakan suatu proses
dinamik yang senantiasa memperhatikan pengalaman-pengalaman sosial maupun
personal, yang karenanya, menuntut adanya analisis, seleksi, refleksi, dan
evaluasi. Oleh karena itu, refleksi filosofis, psikologis dan sosiologis
menjadi telaahan fundamental (bersama sejarah dan analisis komparatif) yang
secara bersama-sama memberikan sejumlah pengetahuan untuk lebih bisa dalam
memahami totalitas “dunia pendidikan.”
Selama tahun 1943-1945, Institut
Sosiologi di London menyelenggarakan konfrensi-konfrensi mengenai sosiologi dan
pendidikan. Pada konfrensi-konfrensi dimaksud, Mannheim dan Clarke sama-sama
memberikan andil yang berarti. Pada tahun 1948, setahun setelah wafatnya
Mannheim, Clarke menerbitkan bukunya yang berjudul “Freedom in the Educative
Society.” Pada bukunya itu, menurut Clarke tujuan pokoknya untuk mencetak corak
watak warga negara ke arah yang lebih baik. Untuk itu, masyarakat pendidikan
perlu secara sadar mengarahkan aktivitas-aktivitasnya, dan mengorganisasikan
departemen-departemennya dengan suatu pandangan guna mengembangkan corak watak
warga negara dimaksud tadi.
Clarke juga setuju dengan Profesor W.
E. Hocking, bahwa dunia pendidikan, memang harus digiring untuk mencetak corak
watak baru tertentu, namun bersamaan dengan itu, juga perlu menjadi
“penyelamat” apa-apa yang berakar pada masyarakat itu sendiri. Dalam hubungan
ini, Clarke bertahan dengan menyatakan bahwa budaya yang benar mustinya
berkembang dari budaya masyarakat itu sendiri dan mengambil pelajaran dari
masyarakat lain yang dipandang maju dan sehat.
Pada tahun 1950 W. A. C. Stewart
menulis sebuah artikel penting yang dimuat pada “Sociological review”.
Artikelnya mengenai filsafat dan sosiologi pada pendidikan guru (judulnya:
Philosophy and Sociology in the Training of Teachers). Artikel tersebut masih
tetap banyak dijadikan dasar pertimbangan di dalam dan menetapkan kurikulum
pendidikan guru. Secara jitu Prof. Stewart menyatakan: Salah satu masalah utama
dalam pendidikan guru ialah bagaimana menghindari tumpang tindih dalam
mata-mata ajarannya. Masalah lainnya, bagaimana menghindari keterpisahan
mata-mata ajarannya, jadi supaya ada koherensi terhadap aspek-aspek yang
dipelajarinya. Ia juga menekankan kepada para guru dan calon guru supaya harus
menyadari pula kritikan-kritikan pada dunia pendidikan yang nota bene
memerlukan andil penglihatan sosiologi. Selanjutnya, ia langsung pada kerangka
dari tiga mata ajaran (mata kuliah) yang dulunya disarankan Mannheim untuk
dikuliahkan pada lembaga pendidikan guru. Ketiga mata ajaran yang dimaksud
beserta kerangkanya masing-masing sebagai berikut :
A.
Sosiologi
Untu Guru
1.
Sifat
manusia dan tata sosial
2.
Impak
kelompok-kelompok sosial terhadap individu
3.
Struktur
sosial
B.
Sosiologi
Pendidikan
1.
Sekolah
dan masyarakat
2.
Sosiologi
pendidikan dalam aspek-aspek historisnya
3.
Sekolah
dan tata sosialnya.
C.
Sosiologi
Mengajar
1.
Interpretasi
sosiologis terhadap kehidupan sekolah
2.
Hubungan
guru-murid
3.
Masalah-masalah
organisasi sekolah
Stewart sendiri menyarankan adanya
sajian pengantar dalam kuliah sosiologi pendidikan, yaitu guna menyajikan
hal-hal pokok mengenai “apa sosiologi itu sendiri;” termasuk di dalamnya
tentang struktur sosial, fungsi dan pengendalian sosial, serta perubahan
sosial. Juga perlu memperkenalkan taksonomi-taksonomi ahli-ahli sosiologi,
seperti mengenai klasifikasi dan definisi dari berbagai macam kelompok, sistem,
dan istilah-istilah.
Program berikutnya, Prof. Stewart
mengusulkan untuk membicarakan beberapa hal, seperti:
1.
Institusi-institusi
masyarakat
2.
2.
Sosiologi dan kurikulum
3.
Pendidikan
bagi kebudayaan
4.
Proses
belajar mengajar di kelas menurut penglihatan sosiologis
5.
Kedisiplinan
dan tata aturan
6.
Guru
dalam masyarakat, dan akhirnya
7.
Sosiologi
dan nilai-nilai
Mengenai yang disebutkan terakhir,
Prof. Stewart mensinyalir bahwa relativisme nilai-nilai menyebabkan ahli
sosiologi yang konsisten berpendirian tidak ada jalan untuk memasuki wilayah
permasalahan tersebut. Bagi Stewart, fungsi penting dari sosiologi, terutama
dalam kaitannya dengan nilai-nilai dalam pendidikan, menurutnya tetap ada,
yaitu terlebih lebih untuk menunjukkan situasi dimana tindakan tindakan
tertentu diambil dalam kebijaksanaan dan penyesuaian pendidikan.
2.
EDUCATIONAL
SOSIOLOGY DAN SOCIOLOGY
OF EDUCATION
Asal mula dan perkembangan sosiologi
pendidikan, baik Educational Sosiology maupun Sosiology of Education, keduanya
sama-sama di gunakan untuk menunjuk kepada disiplin ilmu yang sekarang menjadi
pembahasan. W. A. C. Stewart menulis artikelnya pada tahun 1950, ia malah
menggunakan tiga istilah, yaitu Sociological Approacah to Education,
Educational Sociology, dan Sociology of Education. Kemudian pada tahun 1962,
ketika Stewart mempublikasikan buah pikiran/karya Mannheim mengenai pandangan
pendidikannya diberi judul “An Introduction to the Sociology of Education.”
Dalam uraian yang termuat di buku tersebut, ternyata secara silih berganti
menggunakan istilah “Sociology of Education” dan “A Sociological Approach to
Education,” serta tidak menggunakan istilah “Educational Sociology” sama
sekali.
Ada kecenderungan pada jurusan
Pendidikan diberbagai perguruan tinggi menggunakan istilah “Educational
Sociology.” Sedangkan belakangan ini, lebih suka menggunakan istilah “Sociology
of Education.” Disarankan oleh Prof. W. Taylor untuk tetap menggunakan kedua
istilah tersebut, tapi dengan pengertian yang sedikit berbeda di antara satu
dengan yang lainnya. Menurut Taylor, “Educational Sociology,” tekanannya
terletak pada pertanyaan-pertanyaan kependidikan dan sosial, sedangkan
“Sociology of Education,” tekanannya pada permasalahan-permasalahan sosiologis.
Pembedaannya mirip dengan apa yang dinyatakan oleh R. J. Stalcup di dalam
bukunya “Sociology and Education,” ia juga menggunakan istilah “The Social
Foundations of Education.” Definisi dari Stalcup mengenai ketiga istilah
dimaksud sebagai berikut :
a.
Educational
Sociology: Merupakan aplikasi prinsip-prinsip
umum dan penemuan-penemuan sosiologi bagi pengadministrasian dan/atau proses
pendidikan. Pendekatan ini berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip sosiologi
pada lembaga pendidikan sebagai suatu unit sosial tersendiri
b.
Sociology
of Education: Merupakan
suatu analisis terhadap proses-proses sosiologis yang berlangsung dalam lembaga
pendidikan. Tekanan dan wilayah telaahannya pada lembaga pendidikan itu
sendiri.
c.
Social
Foundation of Education: Merupakan
suatu bidang telaahan yang lazimnya mencakup sejarah, filsafat, sosiologi
pendidikan, dan pendidkan komparasi. Jelas, bidang ini lebih luas baik dari
“Sociology of Education” maupun “Educational Sociology.”
Dalam bukunya “Educatiomal
Sociology,” G. E. Jensen membahas perbedaan antara kedua istilah tadi. Menurut
Jensen, problematik yang ditelaah oleh “Educational Sociology” di angkat dari
bidang pendidikan. Sedangkan problematikanya “Sociology of Education” diangkat
dari bidang sosiologi. Jensen juga berpendapat, bahwa sosiologi merupakan suatu
bidang telaahan praktis, memperhatikan segi-segi sosiologis maupun sosial
psikologis yang relevan atau berkaitan secara logis dengan
permasalahan-permasalahan praktis pendidikan.
Dalam hubungan ini, “Sociology of
Education,” perhatian utamanya pada upaya menemukan aspek-aspek sosiologis dari
fenomena dan institusi pendidikan. Di sini, masalah-masalahnya dikaji dan
dipandangnya sebagai masalah essensial sosiologi, dan bukan merupakan masalah
praktis pendidikan. Sementara ahli-ahli pendidikan yang tertarik pada
pendekatan sosiologis, misalnya diberikan latihan-latihan dasar mengenai
disiplin ilmu sosiologi itu sendiri.
Dalam dunia akademik belakangan ini,
memang semakin banyak kita dihadapkan pada penelaahan yang inter-disipliner.
Begitu muncul pertanyaan mengenai “hak paten” disiplin keilmuan, berarti kita
kembali lagi ke tempat start (melakukan pengepingan-pengepingan baik terhadap
ilmu maupun tugas penelitian).
Sosiologi pendidikan merupakan suatu
disiplin yang menjadi perhatian, baik ahli sosiologi maupun ahli pendidikan,
dan keduanya telah memberikan kontribusi berharga. Yang terpenting, pada
keadaan dan tingkat mana pun, hendaknya semua upaya penelitian dilakukan secara
terarah dan terkendali, dan dengan menggunakan metodologi yang ampuh.
Keseluruhan
yang ditelaah sosiologi pendidikan, sesungguhnya adalah salah satu, di mana
ahli sosiologi dan ahli pendidikan bisa bekerjasama secara ramah, dan itu sudah
mereka lakukan. Tidak ada gunanya lagi memperbincangkan, apakah sosiologi
pendidikan merupakan cabang sosiologi ataukah cabang ilmu pendidikan. Yang
terlebih utama ialah menetapkan mana-mana pertanyaan atau permasalahan yang
penting untuk dipertanyakan dan di jawab secara ilmiah, dan menentukan
siapa-siapa (ahli sosiologi ataukah ahli pendidikan) yang berposisi terbaik
untuk meneliti dan menjawabnya.
2.3
KONTEN PERKULIAHAN SOSIOLOGI
PENDIDIKAN
Dalam mempertimbangkan tujuan,
konten, dan teknik sajian pendidikan, mau tak mau kita perlu segera
memperhatikan konteks di mana pendidikan itu berlangsung. Tak bisa di hindari
pentingnya suatu telaahan komparasi kontekstual, baik ke dalam masyarakat itu
sendiri, maupun di antara masyarakat kita dengan masyarakat yang lainnya. Dalam
hubunganini, pendidikan komparasi memang merupakan suatu disiplin tersendiri.
Tetapi juga jelas, bahwa untuk melakukan telaahan mendalam terhadap sosiologi
pendidikan. Harus ada analisis lintas masyarakat sehingga bisa dilakukan
analisis komparasi terhadap situasi pendidikan di dalam berbagai ragam konteks
geografis dan etnologis.
Para ahli pendidikan haruslah
benar-benar menyadari bahayanya “pengambilan alihan budaya” sebagaimana
ditunjukkan oleh James Lynch di dalam artikelnya yang berjudul “Comparative
Education and Colleges of Education.” Jadi, metoda komperasi, implisit di dalam
sosiologi pendidikan, sebagaimana halnya telaahan pendidikan komparasi yang
secara implisit juga menghajatkan basis pengetahuan dan metodologi ilmu-ilmu
sosial yang ada.
Di dalam menelaah berbagai ragam
hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, sosiologi pendidikan mau tak mau
musti memperhatikan dan beranjak dari sejumlah konsep-konsep umum, misalnya
konsep tentang masyarakat, kebudayaan, persekutuan hidup, lingkungan,
sosialisasi, internalisasi, akomodasi, assimilasi, ketimpangan kebudayaan,
sub-kultur, status, peranan, dan sebagainya.
Apa yang disajikan di buku pengantar
ini, jelas jauh dari cukup bila dibandingkan dengan masalah-masalah sosiologi
pendidikan yang tumbuh meningkat dalam wilayah garapan sosiologi pendidikan itu
sendiri, untuk itu, kepada para mahasiswa disarankan untuk membaca sejumlah
literatur dan hasil penelitian yang relevan sesuai dengan lingkup telaahan
sosiologi pendidikan.
Posting Komentar