Senin, 10 Desember 2012

PONDOK PESANTREN, MADRASAH DAN SEKOLAH

0 komentar
A. Pendahuluan Dalam konteks keIndonesiaan rakyat tidak harus bingung untuk mencari pendidikan, di negeri ini lembaga pendidikan sangat banyak dan beragam, bagi yang beragama Islam, mereka bisa memilih lembaga pendidikan seperti, Pondok Pesantren dan juga madrasah. Dan juga ada sekolah umum. Ketiga lembaga ini sama-sama mempunyai peran untuk memberikan Ilmu dan memberdayakan masyarakat. Warga diberikan kebebasan untuk memilih lembaga pendidikan yang ada. Memilih sesuai dengan minat dan keinginannya. Bagi orang yang hendak menguasai pendidikan umum mereka bisa memilih jalur pendidikan umum, bagi mereka yang hendak mendalami dan menguasai pendidikan agama, mereka bisa memilih lembaga pendidikan pesantren, dan bagi yang berkeinginan ingin mengerti dan memahami kedua-duanya (agama dan umum) bisa mengambil jalur madrasah. Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama, namun berbeda dalam pengelolaannya. Diantara ketiga lembaga ini masing-masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit diantara lembaga pendidikan yang ada terjadi persaingan. Kenyataan di lapangan perebutan dan kompetisi memang benar terjadi, dan tidak jarang juga kita temukan dilapangan kompetisi antar lembaga pendidikan yang ada sering tidakfair dan menimbulkan kecemburuan satu sama lainnya. Bentuk ketidak fair an antar lembaga pendidikan yang ada juga diwujudkan dalam bentuk ketidak obyektifan dalam menilai lembaga pendidikan yang ada. Dahulu pondok pesantren sering mendapatkan stigma negatif dari sebagian masyarakat, lembaga pendidikan kolot, kumuh, ndeso, tidak maju, dan lembaga akhirat adalah beberapa stigma yang sering dinisbatkan pada lembaga pendidikan murni pribumi ini, tentunya hal ini menimbulkan dampak negatif bagi keberlangusngan Pondok Pesantren, banyak masyarakat yang kemudian ragu menempatkan anak-anaknya menuntut ilmu di Pondok Pesantren, padahal sejatinya stigma-stigma negatif yang bermunculan di masyarakat tidaklah benar semua, kalapun ada itu hanya seberapa yang tidak cukup mewakili dari sekian banyak Pondok Pesantren yang ada di Indonesia. Sekolah dan madrasah pun tak luput dari stigma negatif yang muncul pada sebagian masyarakat. Sekolah sering mendapatkan pandangan sebagai lembaga pencetak kader kapitalis, mementingkan kehidupan sekuler dan masih banyak lainnya. Kualitas tidak jelas, berpikir mundur, banyak beban pelajaran dan sekolahnya anak desa adalah beberapa stigma negatif yang muncul terhadap madrasah. Dari sekian banyak stigma negatif yang bermunculan di masyarakat, adalah menjadi tantangan dan tugas para pendidik termasuk pemerintah untuk membenahinya sedikit demi sedikit, khawatir kalau hal ini tidak segera ditindak lanjuti akan menimbulkan sikap apriori dan masa bodoh masyrakat terhadap beberapa lembaga pendidikan yang ada, yang kemudian berakibat enggannya masyarakat untuk mencari ilmu dan pendidikan melalui lembaga pendidikan yang ada. Berangkat dari sini penulis mencoba sedikit membahas lebih jauh terkait dengan beberapa lembaga pendidikan yang ada, yakni Pondok Pesantren, Madrasah dan Sekolah dalam tinjauan filosofis, guna memahami fungsi, peran dan perbedaan diantara ketiga lembaga tersebut. B. Pembahasan 1. Pondok Pesantren Pondok pesantren adalah gabungan dari dua kata, yakni Pondok dan pesantren. Masing-masing kata ini mengandung makna yang berbeda satu sama lainnya, namun kedua-duanya memiliki hubungan yang sangat erat sehingga dikemudian hari membentuk satu kesatuan pemahaman yang tidak dapat dipisahkan. Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab fundug, yang berarti hotel atau asrama, atau dalam pengertian lain pondok adalah asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang dibuat dari bambu. Sedangkan istilah Pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan Pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri. Namun menurut Profesor Johns, santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedangkan menurut C.C. Berg istilah Santri berasal dari bahasa India, Shastri yang berarti adalah orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata Shastriberasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu Pengetahuan. Jadi definisi daripada pesantren adalah lembaga pendidikan isalam dengan sistem asrama, kyai sebagai sentral figur, masjid sebagai titik pusat yang menjiwai. Dalam lembaga pendidikan pesantren terdapat lima (5) varian yang penting dan terikat dalam pondok peosantren, walaupun sebenarnya jumlah varian ini tidak mutlak lima, semua tergantung pada masing-masing pondok pesantren tersebut. Kelima varian tersebut meliputi Kyai (Ulama), pondok (asrama), masjid (mushola), santri dan proses pembelajaran dan pengkajian kitab-kitab klasik atau biasa dikenal dengan istilah Kitab Kuning. Namun perlu dicermati bahwa seiring dengan perkembangan zaman, banyak pondok pesantren pada perkembangannya mendirikan lembaga pendidikan formal. Hal ini kemudian mau tidak mau menambah varian lain dalam menangani perjalanan pondok pesantren tersebut, bisa saja varian tamabahannya adalah, managemen, yayasan, sistem, pengurus, organisasi, tata tertib dan mungkin juga yang lainnya, yang tentunya tambahan varian dalam pondok pesantren disesuaikan dengan kebutuhannya. a. Kyai Zamakhsyari Dhofier, perkataan atau istilah kyai dalam bahasa jawa sering dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda. Pertama, sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap sakti dan kramat, misalnya kyai tombak pleret atau Kyai Garuda Kencana yang dipakai untuk sebutan kereta emas yang ada di kraton Yogyakarta. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren b. Pondok Yang menjadi salah satu Ciri khas dari pondok pesantren adalah semua murid (santri) yang mencari ilmu tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang kyai dengan model menginap. Tempat tinggal sesaat untuk para santri ini yang kemudian oleh orang jawa dipopulerkan dengan istilah pondok. Terdapat beberapa sebab mengapa lembaga pendidikan pesantren harus menyediakan pondok (asrama) untuk tempat tinggal para santri dalam mencari ilmu. Pertama,kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam, hal ini merupakan daya tarik para santri dari jauh untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama, sehingga untuk keperluan hal itulah seorang santri harus tinggal menetap. Kedua, hampir sebagian besar pesantren berada di desa-desa yang jauh dari keramaian dan kekuasaan serta tidak rersediannya perumahan yang cukup untuk menampung para santri, dengan demikian diperlukan adanya pondok khusus. Ketiga, adanya timbal balik antara santri dengan kyai, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah seperti bapaknya sendiri, sedangkan kyai memperlakukan santri seperti anaknya sendiri juga. Sikap timbal balik ini menimbulkan suasana keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan secara terus menerus. c. Masjid Kedudukan msajid sebgai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi univesalisme dari sistem pendidikan Islam yang pernah dipraktekan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, telah terjadi proses yang berkesinambungan fungsi masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim. Tradisi penggunaan masjid sebagai pusat aktifitas kaum muslim diteruskan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya. Dimanapun kaum muslimin berada masjid sebagai pilihan ideal bagi tempat pertemuan, musyawarah, pusat pendidikan, pengajian, kegiatan administrasi dan kultural, bahkan ketika belum ada madrasah dan sekolah yang menggunakan sistem klasikal, masjid merupakan tempat paling feresantatif untuk menyelenggarakan pendidikan. d. Santri Santri adalah istilah lain dari murid atau siswa yang mencari ilmu pada lembaga pendidikan formal, bedanya santri ini mencari ilmu pada pondok pesantren. (Adapun Asal muasal kata santri dapat dilihat pada halaman sebelumnya). Dalam dunia pesantren istilah santri terbagi menjadi dua kategori. Pertama, santri mukim, yaitu santri yang berasal dari luar daerah pesantren yang hendak bermukim dalam mencari ilmu. Kedua, santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari desa-desa di sekitar pesantren.mereka bolak-balik (ngelajo) dari rumahnya sendiri. e. Pengajaran Kitab Kuning Kitab kuning adalah ungkapan dari beberapa kitab klasik yang sering dikaji dan dipelajari oleh para santri dan kyai. Biasanya kertas-kertas pada kitab yang dikaji sudah lama usianya akan berubah menjadi kuning, oleh karenanya istilah kitab kuning ini muncul. Terdapat dua model yang digunakan dalam pengkajian kitab kuning, model pertama adalah sorogan, santri satu persatu secara bergantian mengaji atau membaca kitab tertentu dengan kyai secara langsung. Dimana peran kyai dalam model ini sebatas hanya menyimak bacaan yang dibacakan oleh santri dengan disertai penjelasan, di sini peran santri harus aktif dalam proses pembelajaran. Kedua, bandongan, pada model kedua ini peran kyai sangat aktif dalam proses pembelajaran, di sini kyai membaca salah satu kitab disertai dengan penjelasan dengan diikuti oleh sebagian besar santri yang ikut menerjemahkan kitab yang dibaca oleh kyai. Dan biasanya bahasa yang sering digunakan dalam menerjemahkan kitab adalah bahasa Jawa. Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam. Menurutnya dalam sejarah tradisi intelektual Islam pada mulanya adalah melahirkan pakar-pakar ilmu agama, seperti Ibn Abbas dalam tafsir, Abdullah ibn Mas’ud dalam fiqh dan lain sebagainya. 2. Madrasah Sejatinya madrasah dalam peta dunia pendidikan di Indonesia bukanlah suatu lembaga yang indegenous (pribumi). Setidaknya hal ini dapat dilihat dari kata ”madrasah” itu sendiri yang berasal dari bahasa Arab. Secara harfiah, kata ini berarti atau setara maknanya dengan kata Indonesia, yakni ”sekolah”, (kata ini juga sebenarnya bukanlah kata asli Indonesia melainkan bahasa Inggris ”school ataupun scola, namun kata ini dialihkan dan di bakukan menjadi bahasa Indonesia. Pada dasarnya madrasah dengan pondok pesantren tidak jauh berbeda, masing-masing mempunyai model dan tujuan yang sama dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam catatan sejarah madrasah lahir dari lingkungan pondok pesantren, atau dengan kata lain madrasah adalah perluasan dan pengembangan pendidikan dari pondok pesantren yang mempunyai misi untuk mencerdaskan anak bangsa yang pada saat itu belum ada keinginan untuk tinggal atau menginap di pondok dalam proses belajarnya. Setidaknya hal ini dapat dilihat dari para pendiri awal lembaga pendidikan Madrasah yang sebagian besar didirikan oleh para Ulama yang menjadi pengasuh dan sekaligus pendiri Pondok Pesantren pada lembaganya masing-masing. Diawali oleh Syekh Amrullah Ahmad (1907) di Padang mendirikan Madrasah, KH. Ahmad Dahlan (1912) di Yogyakarta, KH Wahab Hasbullah bersama KH Mansyur (1914) dan KH. Hasym asy’ari yang pada tahun 1919 mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang Pertama, ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum yang sederajat. Kedua, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum yang setingkat lebih atas. Dan Ketiga, siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Setelah melewati sejarah dan waktu yang panjang penuh dengan dinamika, akhirnya madrasah semakin mendapatkan tempat dan pengakuan dari pemerintah. Undang-undang sisdiknas tahun 2003 telah semakin mempertegas posisi dan kedudukan madrasah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Oleh karenannya masyarakat ataupun pemerintah tidak boleh lagi mendikotomikan antara sekolah umum dengan sekolah agama, karena materi dan kebijakan-kebijakan yang biasanya melekat pada lembaga pendidikan umum seperti, UAN, KBK dan KTSP juga berlaku bagi madrasah 3. Sekolah Sebelum masa penjajahan, pendidikan yang ada di Indonesia berupa pendidikan non formal. Pendidikan ini telah ada sejak Zaman Kerajaan Hindu (atau sebelumnya), sekolah/pendidikan dilangsungkan di tempat Ibadah, perguruan atau padepokan. Ketika Belanda mulai memporak-porandakan Nusantara (Indonesia) dengan bentuk penjajahan dengan mengambil semua kekayaan dan rempah-rempah pada sebagian besar wilayah Indonesia, Belanda pun mulai melakukan penjajahan terhadap dunia pendidikan yang saebelumnya banyak dilakukan oleh warga pribumi pada tempat-tempat ibadah dan pondok pesantren. Penjajahan yang dilakukan dengan membentuk lembaga pendidikan baru yang dinamakan Sekolah. Akibat inspeksi pendidikan colonial yang dilakukan oleh Gubernur Van der Chijs pada tahun 1867, sekolah yang dikelola oleh zending ini kemudian masuk kedalam system pendidikan umum gubernemen, masuknya sekolah tersebut secara otomatis sekolah yang dikelola oleh zending tersebut masuk kedalam system sekolah umum. Masuknya sekolah yang dikelola oleh zending ini kedalam system sekolah umum bila dibandingkan dengan Pondok Pesantren yang masuk kedalam system pendidikan umum ini lebih mudah. Hal ini disebabkan antrara lain karena para murid sekolah tersebut sudah terbiasa dengan tulisan latin dan mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu ini merupakan bahasa yang penting dalam tugas sehari-hari pada lingkup gubernemen. Disaat pergantian abad 20, beberapa tokoh berfikir untuk mencari kemungkinan melibatkan pendidikan Islam dalam pengembangan pendidikan. Hal itu disebabkan karena pendidikan Islam tersebut dibiayai oleh rakyat sendiri, dan dengan demikian pendidikan umum akan dapat direalisasikan dengan biaya yang relatif lebih murah. Akan tetapi karena alasan politis, penggabungan sistem tersebut tidak terlaksana, sebagai akubat konsekwensi logis dari kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau campur tangan dalam persoalan Islam. Kemudian pada tahun 1888 Mentri kolonial menolak memberikan subsidi kepada sekolah-sekolah Islam karena campur tangan Gubernur Jenderal yang tidak mau mengorbankan keuangan negarauntuk sekolah-sekolah tersebut, yang pada akhirnya hanya berhasol mengembangkan suatu sistem pendidikan yang sebenarnya tidak menguntungkan pengaruh dan kewajiban kira (Belanda). Kemudian berdasarkan pertimbangan tersebut, didirikanlah apa yang disebut sekolah desa, sebuah lembaga pendidikan sederhana yang membuka jalan kearah terwujudnya pendidikan umum, namum pada saat itu usulan untuk menggabungkan pendidikan Islam ditolak. Akhirnya semenjak persoalan tersebut, sekolah Islam mengambil jalan sendiri dengan melepas dari Gubernemen, sekolah Islam tetap berpegang pada tradisinya sendiri, tetapi sekolah Islam juga terbuka untuk perubahan dalam tradisi tersebut. Memang Pendidikan formal di Indonesia mulai dikenal pada masa penjajahan, pada awal masa penjajahan sampai tahun 1903 sekolah formal masih dikhususkan bagi warga Belanda di Hindia Belanda. Sekolah yang ada pada masa itu diantaranya ELS, HIS,HCS, MULO dan AMS. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. ELS (Eurospeesch Lagere School) atau disebut juga HIS (Hollandsch Inlandsch School) sekolah dasar dengan lama studi sekitar 7 tahun. Sekolah ini menggonakan sistem dan metode seperti sekolah di negeri belanda 2. HBS (Hogere Burger School) yang merupakan sekolah lanjutan tinggi pertama untuk warga negara pribumi dengan lama belajar 5 tahun. AMS (Algemeen Metddelbare School) mirip HBS, namun setingkat SLTA/SMA. 3. Sekolah Bumi Putera (Inlandsch School) dengan bahasa pengantar belajarnya adalah bahasa daerah dan lama study selama 5 tahun. 3. Sekolah Desa (Volksch School) dengan bahasa pengantar belajar bahasa daerah sekitar dan lama belajar adalah 3 tahun. 4. Sekolah lanjutan untuk sekolah desa (Vervolksch School) belajar dengan bahasa pengantarnya bahasa daerah dan masa belajar selama 2 tahun. 5. Sekolah Peralihan (Schakel School) yaitu sekolah lanjutan untuk sekolah desa dengan lama belajar 5 tahun dan berbahasa belanda dalam kegiatan belajar mengajar. 6. MULO Sekolah lanjutan tingkat pertama singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs dengan tingkatan yang sama dengan smp / sltp pada saat jika dibandingkan dengan masa kini. B. Kesimpulan Berdasarkan amanat UUD 45 (Pasal 31) setiap rakyat Indonesia berhak mendapatkan pendidikan yang layak, pemerintah selaku pejabat yang dipilih oleh rakyat dibebankan untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan Nasional. Guna menjalankan apa yang menjadi amanat UUD 45, maka pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan melalui lembaga pendidikan baik lembaga yang dikelola oleh pemerintah atau dikelola oleh yayasan yang masih tetap berada dalam kordinasi pemerintah. Pondok pesantren, sekolah dan madrasah adalah instansi yang mempunyai tujuan sama namun berbeda dalam pengelolaannya dan masing-masing mempunyai ciri khas. Ditengah-tengah perbedaan dan kesamaan dari lembaga pendidikan yang ada, tidak sedikit terjadi persaingan diantara lembaga pendidikan yang ada. Peran dan keberadaan pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan asli Indonesia memang harus tetap dilestarikan dan diperhatikan perkembangannya, karena kehadiran pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat adalah selain untuk memberdayakan masyarakat juga sebagai wadah untuk menyiapkan kader-kader Ulama yang mampu menguasai dan memahami Al-Qur’an dan al hadis secara baik dan benar dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Menurut KH. Abdurahman Wahid bahwa tradisi keilmuan pesantren tidak bisa dilepaskan dari pergulatan intelektual yang terjadi pada sepanjang sejarah berkembang dan meluasnya Islam. Kemunculan madrasah dipandang menjadi salah satu indikator penting bagi perkembangan positif kemajuan prestasi budaya umat Islam, mengingat realitas pendidikan, sebagaimana terlihat pada fenomena madrasah yang sedemikian maju saat itu, adalah cerminan dari keunggulan capaian keilmuan, intelektual dan kultural. oleh karenanya timbul kebanggaan terhadap madrasah, karena lembaga ini mempunyai citra ”eksklusif” dalam penilaian masyarakat. Karena dalam catatan sejarah, madarasah pernah menjadi lembaga pendidikan par excellence di dunia Islam. Pendidikan formal di Indonesia mulai dikenal pada masa penjajahan, pada awal masa penjajahan sampai tahun 1903 sekolah formal masih dikhususkan bagi warga Belanda di Hindia Belanda. Sekolah yang ada pada masa itu diantaranya ELS, HIS,HCS, MULO dan AMS. Kemudian karena Didorong oleh gagasan dan keyakinan yang dilandasi semangat perjuangan Proklamasi Kemerdekaan serta wawasan ke masa depan, Pemerintah Indonesia akhirnya meresmikan berdirinya Sekolah Indonesia pada tanggal 2 Maret 1959. Sekolah Indonesia lahir dalam suasana penuh dinamika mengemban misi pengabdian ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berpijak pada kehidupan nyata di bumi sendiri bagi kehidupan dan pembangunan bangsa yang maju dan bermartabat. DAFTAR PUSTAKA A. Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, (: Miz Bandung an, Cet. 2, 1999). A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991 Arif, Mahmud, Panorama Pendidikan Islam di Indonesia, (Yogyakarta, Idea Press, 2009) Dhofier, Zamaksyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES, Cet.III, 1982.

Labels