Sabtu, 21 Januari 2012

IJTIHAD MENURUT PEMIKIRAN MUHAMMAD AL-BAQIR

0 komentar

BAB I
Pendahuluan

1.1.            Latar Belakang
Hukum, dalam masyarakat manapun, adalah bertujuan untuk mengendalikan
masyarakat. Ia adalah sebuah sistem yang ditegakan terutama untuk melindungi hak-hak individu maupun hak-hak masyarakat. Sistem hukum disetiap masyarakat memilki sifat,karakter dan ruang lingkupnya sendiri. Sama halnya, islam memiliki sistem hukum sendiri yang dikenal sebagai fiqh.
Hukum islam bukanlah hukum murni dalam pengertiaanya yang sempit; ia mencakup seluruh bidang kehidupan-etika, keagamaan, politik, dan ekonomi. Ia bersumber dari wahyu ilahi. Wahyu menentukan norma-norma dan konsep dasar hukum islam serta dalam banyak hal merintis dobrakan terhadap adat dan sistem hukum kesukuan arab pra islam.
Hendaklah dicatat bahwa terdapat perbedaan mendasar antara tujuan dan ruang lingkup haukum dalam antrian modern dan dalam artian Al-Qur’an. Hukum dalam artian modern adalah aturan-aturan khusus yang mengatur permasalahn sosial, ekonomi, dan politik dari suatu bangsa, yang disusun oleh suatu badan berwenang yang kompeten dan diberlakukan dengan sanksi-sanksi dari negara
Aturan-aturan prilaku moral individu tidak termasuk dalam lingkup hukum modern, meskipun aturan prilaku tersebut ada dalam bentuk adat istiadat dan prilaku sosial, dan sampai sejauh tertentu dipaksakan berlakunya oleh polisi susila dan dengan menggunakan opini publik semata-mata.
1.2. Rumusan Makalah
Dalam makalah ini penulis mengajak pembaca sekalian untuk membahas beberapa persoalan, suatu  pemikiran Muhammad Al- Baqir tentang sebuah makna ijtihad
1.      Apakah itu ijtihad? Dan bagaimana perkembangannya dikalangan kaum muslimin?
2.      Bagaimana sebuah ruang lingkup dalam berijtihad?


1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah penulis ingin memberi wawasan tentang sejauh mana perkembangan manusia dalam memaknai sebuah ijtihad dalam suatu kehidupan umat muslim dimuka bumi ini, serta penulis mengajak untuk mengetahui hakikat makna yang terkandun dalam sebuah ijtihad.
1.4 mamfaat penulisan
Manfaat yang penulis harapkan dari penulisan makalah ini adalah sebagaimana yang berikut ini:
1.      Menambah wawasan dan khazanah tentang suatu makna berijtihad.
2.      Untuk lebih memahami pemikiran Muhammad Al-Baqir tentang ruang linkup dalam menjalankan suatu ijtihad dan perkembangannya di kalangan kaum muslimin.

BAB II
Pembahasan

2.1 Pembahasan umum
Membicarakan tentang Muhammad Al-Baqir yang lahir di solo pada 20 Desember 1930 adalh seorang da’i, penulis, dan penerjemah,(buku-buku bahsa arab). Pengetahuan agamanya lebih banyak di dapat secara otodidak ataupun lewat pendidikan nonformal lainnya. Pendidikan formalnya dimulai pada 1937, dari Holand Arbiche Scholl (HAS) kemudian, ketika jepang masuk, beliau melanjutkan ke Al-Madrasah Al-Arabiyah Al-Diniyah. Disamping itu, pelajaran agama juga diperoleh dari ayahnya dan dari ulama’ setemapat pada halaqah diniyah di sebuah masjid dikotanya. Pada 1950, penulis yang berasal dari marga Alhabsyi ini sempat mengunjungi hadhramaut(yaman selatan), negri ini waktu itu masih merupakan salah satu pusat aktivitas intelektual islam, khususnya tasawuf, di timur tengah. Sejak 1957 hingga sebelum perpindahanya ke bandung( 1979), Beliau Aktif di bidang pendidikan islam antara lain dengan menduduki jabatan serkertaris dan kemudian, ketua yayasan pendidikan islam Diponegoro(Al-Rabithah Al-Alawiyah).
Sejauh yang disajikan pada umum, Muhammad Al-Baqir dalam pemikrannya tentang ijtihad disimpulkan dari prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dan As-Sunnah dan kemudian dituangkan dalam disiplin ilmu yang disebut ushulul fiqh.
Ruang linkup hukum Al-Quran mencangkup aturan-aturan prilaku manusia dalam semua bidang kehidupan, menjamin kesejahteraan manusia dalam kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Pelaksanaan hkum islam yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah tugas sebuah negara islam. Penerapan aturan-aturan individual prilaku moral diatur oleh dua faktor penting, yaitu tanggung jawab kolektif masyarakt muslim untuk melaksanakan ajaran-ajaran islam dan hubungan masing-masing antara individu dengan penciptanya maupun dengan sesamanya. Menurut Al-Qur’an, masyarakat muslim, mempunyai kewajiban melaksanakan penerapan aturan prilaku moral sebagai perintah Ilahi.
Al-Qur’an berulang ulang menyuruh hati nurani manusia untuk mengikuti ajaran-ajaran demi kesejahteraan dirinya maupun sesama manusia. Dengan demikian Al-Qur’an,dengan menjadikan ketaatan pada aturan syari’ah sebagai masalah kesadaran hati nurani, telah meninggikan derajat konsep hukum dan tata nilai etika dan ajaran-ajarannya, yang merupakan landasan hukum yang universal.

2.2 Pembahasan khusus
Masalah yang bagaimana yang dapat dilakukan ijtihad? Sebelum menjawab soal tersebut perlu diketahui bahwa tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama, bahwa tuhan tidak membiarkan manusia begitu saja dalam kebingungan tidak mempunyai pedoman hukum. Sebagian hukum di tunjuki oleh nash, tetapi sebagian lagi tidak diberikan hukum itu dengan nash yang jelas dan terperinci. Mengandung hikmah yang tinggi tuhan hanya memberikan hukum dengan nash-nashnya terhadap sebagian saja dari kejadian yang di hadapi manusia, dalam masalah yang tuhan tidak memberi nash dan nabi juga tidak memberikan sunnahnya. Tuhan memberikan petunjuk-petunjuk dan cara-carauntuk mencapai hukum yang di maksud, bagi para ahli yang mempunyai minat dan kesanggupan untuk itu, dengan dasar dan metode ijtihad.
Adapun terhadap kejadian yang tuhan menyebutkan hukumnya dengan nash qath,i (Al-Quran dan Hadist mutawatir) maka tidaklah ada lapangan ijtihad padanya, wajiblah kita menurut saja apa yang tersebut dalam hukum itu, seoerti pada masalah tidak adanya lapangan ijtihad terhadap masalah bahwa mengerjakan shalat lima waktu itu wajib atau fardhu. Dan juga tidak ada lapangan ijtihad dalam ketentuan-ketentuan ke warisan bagi ahli waris yang ketentuannya tersebut dalam alquran
“tidak boleh mengadakan ijtihad pada sesuatu masalah di mana telah ada nash yang tegas”1

2.2.1 Pengertian ijtihad dan perkembangannya di kalangan kaum muslimin
menurut bahasa, pengertian ijtihad adalah ‘pengerahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesustu yang sulit’. Maka, adalah salah bila kata ijtihad di terapkan pada pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan. Misalnya dikatakan : orang itu berijtihad dalam mengangkat tongkat. Sebab, mengangkat tongkat merupakan sesuatu pekerjaan yang mudah atau ringan yang dapat di lakukan oleh siapapun tanpa harus mengerahkan segala tenaganya. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini berkaitan dengan ijtihad menurut istilah yang untuk melakukannya di perlukan beberapa persyaratan. Karna itu, ijtihad tidak dapat di lakukan oleh sembarang orang
menurut peraktek para sahabat pengertian ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul SAW Baik menggunakan suatu nash, yang disebut Qiyas” (masyqul nash ), maupun melalui maksud dan tujuan umum hikmah syariat, yang disebut “maslahat”.
Sedangkan menurut mayorutas ulama muslim ushul, pengertian ijtihad adalah” pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqh atau mujtahid untuk memperoleh pengertian mengenai suatu hukum syara’. Hal ini menunjukan bahwa fungsi ijtihad adalah untuk mengeluarkan hukum syara’. Dengan demikian, ijtihad tidak berlaku di bidang aqidah dan akhlaq. Dan fungsi ijtihad bukanlah untuk mengeluarkan hukum syara’ amaliy yg statusnya qhat’iy.
Adapun menurut minoritas ulama ushul, pengertian ijtihad adalah pengerahan segala kekuatan untuk mencari hukum suatu peristiwa dalam nash Al-Qur’an dan hadish shahihh. Definisi ini merupakan : ijtihad adalah mencari hukum suatu masalah dalam nash Al-Qur’an dan hadist.
Dan perkembangan ijtihad berkenaan dengan hukum-hukum syariat’, secara singkat dapatlah disebutkan mengenai beberapa perbedaan cara penyimpulan dan penerapannya di berbagai kelompok muslim:
Pertama, mereka yang berpendapat bahwa nash nash hukum agam islam (yakni yang menyangkut kepentingan esensial manusia berkenaan dengan pemeliharaan dan perlindungan terhadap agama, akal, jiwa, harta dan keturunan) semuanya telah tercakup didalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Hal itu ada kalanya dapat dipahami secara langsung. Atas dasar pengertiaan ini, tugas kita hanyalah meneliti dan menyimpulkan dari sumber itu. Paham seperti ini, antara lain dianut  - dengan beberapa perbedaan-   oleh kelompok imamiyah dari kalangan syiah, dan mazhab zhahiri dari klngan ahl Al-Sunnah.
Kedua, mereka yang menetapkan bahwa sumber hukum islam ialah Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad. Dengan pengertian, pertama-tama mengambil dari Alqur’an, kemuadian dari As-Sunnah  bila mana hukum yang dimaksud tidak terdapat pada Al-Qur’an. Jika tidak terdapat dalam keduanya, maka digunakanlah ijtihad.

2.2.2 Ruang lingkup berijtihad menurut Muhammad Al-baqir.
Sebagaimana setiap ketentuan yang berlaku dikalangan masyarakat beradab, memilki aturan permainan,demikian pula soal ijtihad dan ketentuan hukum agamapun memiliki aturan permainan. Oleh para ulama yang kompoten, aturan permainan tersebut telah disimpulkan dari prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta praktek para sahabat dan tabi’in (ushulil fiqh).
Telah disepakati bahwa hukum-hukum islam yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah, harus berdasarkan nash atau dalil Al-Qur’an atau Sunah Nabi SAW apabila tidak dijumpai dalam kedua-duanya, atau dalil yang ada dianggap kurang jelas, maka digunakanlah ijtihad untuk menentukan hukumnya, dengan tidak meninngalkan prinsip-prinsip umum yang dapat diketahui dari ayat-ayat ataupun hadist-hadist lainnya.
Dari uraian tersebut ditariklah suatu kesimpulan yang merupakan salah satu kaidah yang disepakati oleh para ahli ushulul fiqh:
“ tidak diperkenankan berijtihad dalam hukum-hukum yang berdasarkan nash qhat’iy”.
Berdasarkan hal itu, apabila suatu nash telah diyakini sumbernya dari firman Allah atau sunnah Rasulullah SAW dan juga telah diyakini makna dan sasaran yang ditujunya, maka tidak ada lagi ruang untuk berijtihad padanya. Termasuk dalam hal ini, ketepan-ketetapan syariat yang telah menjadi kesepakatan umum para ulama besar terdahulu maupun yang kemudian, seperti tentang kewajiban lima shlat fardhu dalam sehari semalam, atau tentang wanita-wanita yang haram dinikahi disebabkan adanya hubungn kekeluargaan tertentu, atau tentang kadar pembagian harta warisan bagi masing-masing ahli waris, atau tentang diharamkannya makan daging babi atau minum khamr, dan lain sebagainya seperti tersbut dalam Al-Qur’an dengan jelas dan pasti .
Sebaliknya, apabila nash yang mendasari suatu hukum masih bersifat zhanniy  - yakni mengandung unsur keraguan dan kesamaran, baik berkaitan dengan arah sumbernya ataupun makna dan tujuannya – maka disinilah terdapat ruang untuk berijtihad. Keraguan itu bisa datang dari arah sanad para rawi sebuah hadist, sehingga harus diteliti terlebih dahulu mengenai kelayakan mereka satu perstu dalam periwayatannya sebelum dapat ditetapkan apakah hadist yang mereka riwayatkan itu bisa dijadikan dalilm atau tidak. Adakalanya juga, suatu hadist telah diyakini keshahihan sumbernya, namun susunan kata-katanya ataupun materinya masih menimbulkan keraguan dan ketidak pastian dalam memahami makna dan tujaunnya. Munkin pula bersama nash itu terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum dapat dijadikan dalil.
Jadi , ijtiahad hanya dibolehkan dalam hal-hal yang memang tidak ada nashnya, atau ada nashnya namun bersifat zanniy. Terus sebaliknya, tidak ada ruang selain untuk berijtihad dalam sesuatu yang telah ada nash qhat’iy padanya.

BAB III
PENUTUP


3.1  Kesimpulan

v  Telah disimpulakan bahwa pengertiaan ijtihad adalah pengarahan segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Maka, adalah salah bila kata ijtihad diterapkan pada pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan.
v Perkembangan ijtihad dikalangan kaum muslimin berkenaan dengan hukum-hukum syariat, secara singkat dapat dibedakan dengan cara penerapan dan penyimpulannya.
v  Bahwasanya ruang lingkup berijtihad pada dasarnya disimpulkan dari prinsip-prinsip umum Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta praktek para sahabat dan tabi’in.
3.2  Penutup

Demikian pengertian dan pemahaman sekitar mengenai ijtihad menurut Muhammad Al-Baqir, seorang ulama ushulul fiqh yang mendalami ilmu agamanya dari orang tua dan sebatas otodidak yang telah banyak menambah wawasan kita mengenai ijtihad.semoga bermanfaat khususnya bagi diri saya pribadi.

Daftar Pustaka
Ø  Abdurahman. Drs. H. Asjmuni. Pengantar Kepada Ijtihad. Penerbit Percetakan P.T. Pertja. Jakarta Pusat.
Ø  Rahmat. Jalaludin.1991. Ijtihad Dalam Sorotan. Penerbit Mizan. Bandung
Ø  Hasan. Ahmad. 1984. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup. Penerbit Pustaka (Perpustakaan Salman Institut Teknologi) Bandung.


Labels